JAYAPURA-Isu kehutanan kerab menjadi masalah rumit bila sudah merambah pada kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistim. Akibat kerakusakan yang tak tersadari. Parah lagi bila suku asli setempat dan masyarakat adat  sebagai pemilik hak Ulayat terus dipinggirkan, Hutan dibabat, padahal hutanlah  habitat dari beberapa jenis Flora fauna akhirnya lenyap, Butuh waktu pemulihan yang panjang. Haruskah  Pemilik Ulayat terus berdiam, sementara kekayaan alamnya dikuras habis
Rudolf Anung,  dia dikenal sebagai seorang Kepala suku Mee yang mendiami Kabupaten Mimika, bersama warga sukunya. Dia bercerita tentang Hutan di atas Tanah ulayat sukunya yang dibabat habis oleh perusahaan PT Diadyani Timber.Tanah Ulayat yang didiami suku Mee dan Kamoro di Kabupaten Mimika. Penuturan Rudolf Anung ini disampaikannya kepada Bintang Papua, Senin (1/3)di Kantor Redaksi Bintang Papua

“Kami suku Mee yang menghuni dataran kabupaten Nabire dulunya, sekarang dikenal Dogiay, terang Rudolf. Kampung yang punya Hak ulayat yakni wilayah adat kampung Pinia, Tekepa yang dihuni juga oleh beberapa marga yang punya hak ulayat, yakni marga Anung, Pugie, Kotouki dan Nokuwo”.
Persoalan yang dihadapi masyarakat adat dan penduduk asli disana, sehubungan dengan hak ulayat pembayaran konpensasi yang telah disepakati antara masyarakat adat dengan perusahaan, Kepala Distrik, Kapolsek dan Koramil.
Dari keterangan yang diberikan Rudolf Anung bahwa pada tanggal 28 November 2005 didalam kesepakatan antara perwakilan suku Kamoro yang berdiam antara sungai Umar sampai Year dan hadir pula perwakilan suku Mee.
Dari kesepakatan dua suku pemilik hak ulayat dengan PT. DIADYANI TIMBER, suku Mee mendapatkan 50 persen sedang Komoro 50 persen.
Tanpa sepengetahuan suku Mee, PT DIADYANI TIMBER melakukan kesepakatan baru dengan pemilik ulayat dari suku Kamoro tanpa sepengetahuan Suku Mee pada tanggal 7 Maret 2008, menurut Rudolf kesepakatan yang dibuat perusahaan itu adalah kesepakatan sepihak dengan presentase pembagian kompensasi suku Kamoro 90 persen, suku Mee 10 persen.
Penebangan pohon berjenis Merbau yang terjadi di lokasi hak ulayat penduduk asli dan pemilik ulayat suku Kamoro dan Mee Kabupaten Mimika yang terjadi sejak 2005 hingga kini diatas lahan milik warga suku asli disana, mengakibatkan dampak kerusakan pada hutan yang semakin meluas, fakta fisik terkuak, berkubik –kubik kayu merbau yang ditebang, tanpa melakukan upaya penanam kembali kawasan itu menyebabkan kerusakan hutan dan hilangnya keseimbangan ekosistim alam, jadi pemicu bencana banjir dan terusiknya ketenagan suku asli setempat dan pemilik ulayat, terang Rudolf Anung.
Adanya kerjasama dan berjaring antara  oknum Dinas Kehutanan dan pengusaha di Kabupaten Mimika dalam melakukan penebangan dan penyelundupan kayu jenis Merbau dengan cara menyembunyikan log log kayu dengan timbunan tanah yang didapati warga setempat.
Dinas Kehutanan, kata Rudolf Anung melakukan kegiatan berupa pemasangan papan nama bertuliskan penanaman kiri kanan jalan,  dikawasan hutan Merbau yang luasnya 100 Ha di lokasi Km 6 –Km 10 serta melakukan membuka kebun benih tanpa pengawasan, Pohon benih yang telah tumbuh dibabat habis kembali, saya heran dengan semua ini, terang Rudolf.
Penebangan pohon tanpa adanya upaya penanaman kembali kawasan lokasi Km 6 – Km 10 itu, menjadikan lokasi itu rawan  kerusakan lingkugan, penebangan pohon yang sapu rata dan kayunya dibiarkan.
Tidak adanya ganti rugi atas kekayaan alam yang dirusak,serta pembayaran kompensasi Hak Ulayat tahap II pada tahun 2007 serta kompensasi pembayaran tahun 2008 yang dihilangkan, sungai dijadikan jalan produksi kayu oleh perusahaan, perijinan yang berakhir  21 Maret 2008, namun penebangan berlanjut terus hingga Mei 2008.
Masalah kehutanan di Papua yang tak pernah selesai dibahas, dengan  masyarakat pemilik ulayat di Kabupaten Mimika itu, membuat Rudolf Anung dan masyarakat sukunya dirugikan, tanpa ada penyelesaian yang baik.
Akhir dari semua itu, dirinya  rela datang ke Jayapura untuk melaporkan kejahatan atas hak ulayat kehutanan yang dihadapinya bersama warga sukunya itu kepada DPRP di Jayapura.
Ketua Komisi A bersama unsure pimpinan Komisi  Weynand Watory dan Yulius Miagoni dalam keterangan yang diberikan kepada wartawan, Senin (1/3)kemarin menyatakan  persoalan hak ulayat  suku Mee dan Kamoro yang disampaikan lembaga adat Adakum dengan PT.Diadyani Timber
Dari keterangan yang diberikan Weynand Watory, bahwa masyarakat adat Adakum telah melaporkan kepada DPRP kerusakan hutan dan penebangan hutan diatas tanah ulayat mereka yang tidak pernah ada ganti rugi, walau ada ganti rugi, namun jumlah yang didapatkan minim.
DPRP dalam pertemuan kemarin, lembaga masyarakat adat Adakum melaporkan kepada DPRP apa yang mereka alami dan meminta DPRP Komisi A untuk memfasilitasi persoalan mereka.
Wakil Ketua Komisi A DPRP, Weynand Watory menyatakan, bahwa dari laporan masyarakat kemarin, banyak sekali kejanggalan yang ditemui terkait dengan Hak ulayat yang dinilai oleh DPRP pihak Perusahaan tidak Transparan kepada masyarakat adapt suku Mee dan Kamoro, dimana pembayaran atas hak yang harus didapati masyarakat adat tidak jelas, apakah dibayar perpohon atau kubik.
Dalam pertemuan siang kemarin, Komisi A DPRP meminta pihak perusahaan untuk membuat laporan lengkap tentang seluruh proses yang telah dilakukan dengan masyarakat adat hingga konpensasi yang harus diberikan kepada mereka. Pertemuan berikut masih akan dilakukan yakni pertemuan dengan Dinas Kehutanan untuk mempertanyakan aturan –aturan kehutanan yang berlaku sehubungan dengan masalah kehutanan di wilayah adat suku Mee dan Kamoro di Mimika.
Dengan adanya laporan dari masyarakat adat ini, DPRP sudah dapat memastikan bahwa ada problem, rakyat menuntut haknya dari esploitasi hutan yang dilakukan perusahaan kayu.(Veni Mahuze)