JAYAPURA-Di tengah maraknya desakan masyarakat agar SK MRP No 14 Tahun 2009 itu segera diberlakukan, justru muncul pertentangan dari Forum Papua Damai (FORDP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Mereka ini menolak pemberlakuan SK MRP yang mewajibkan bakal calon kepala daerah dan wakilnya harus orang asli Papua itu.

"Kami tegas menolak SK MRP No 14 Tahun 2009 itu," ungkap Ketua FORDP, Simon P Ayomi yang juga Ketua Gerakan Tiga Belas Bintang (G13B) Papua ini, didampingi Ketua Komunitas Rajawali Merah di Tanah Papua, Julfikar Sawaki, Ketua Forum Tiga Tifa Papua, ROde Yepasedanya, Ketua Gerakan Muda Padamu Papua (GMPP), Frans Simbiak, Ketua Forum Melanesia Barat (FMB) Agustinus T dan Ketua Gerakan Muda Untuk Demokrasi (GERDEM), Zainal Sineri di Prima Garden, Abepura, Kamis (20/5) kemarin.
Penolakan SK MRP No 14 Tahun 2009 itu, jelas Simon, karena MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli Papua yang berlandaskan penghomratan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
“MRP merupakan lembaga kultur yang tidak bisa lari jauh dari penanganan masalah adat, bukan lagi mengurusi masalah politik saja, sehingga peraturan tentang tata cara rekrutmen anggota MRP belum tuntas, padahal masa jabatan anggota MRP berakhir 2010 ini,â€Â paparnya.
Mestinya, tugas dan kewenangan MRP yang seharusnya dikerjakan, justru tidak dikerjakan, karena terlibat politik praktis, akhirnya upaya dalam meredam perang antar suku, mengadvokasi agar amanat Otsus 11 kursi di DPRP menjadi terbengkelai.
Ia menilai, saling membesarkan diantara warga Papua telah terjadi dan ketidakpercayaan terhadap sesama juga mulai muncul. "Perbedaan ini mulai timbul dan menimpa orang Papua. Kondisi ini sangat membahayakan orang Papua sendiri dan rasa penghargaan dan hormat kepada kerabatnya telah hilang. Ini ego yang menghambat orang Papua berkembang, mestinya harus ada sikap menghormati, menghargai sesama bangsa, sehingga tidak boleh terjadi diskriminasi," tandasya.
Lebih lanjut dijelaskan, akibat perbedaan itu, secara tidak langsung orang Papua menjadi tersingkir, sesama orang Papua juga saling mengklaim wilayah dan tidak memperbolehkan saudaranya dari daerah lain hidup di dalamnya.
Simon mengungkapkan bahwa rakyat Papua jangan terjebak dalam permainan elit politik, terutama terkait terbitnya SK MRP NO 14 Tahun 2009 tentang bakal calon Pemilukada di Papua harus orang asli Papua.
Padahal, tegas Simon, pasal 20 ayat 1 a UU Otsus No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua menyatakan MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP. "Pasal ini sudah jelas, bahwa MRP tidak punya kewenangan memberikan pertimbangan kepada bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota," tandasnya.
Di samping itu, dalam tata cara rekrutmen bakal calon walikota/bupati tersebut, mestinya diatur dengan peraturan daerah khusus (Perdasus), namun sampai saat ini belum ada Perdasus yang mengatur hal tersebut.
FORDP menilai bahwa SK MRP yang dikeluarkan tersebut sangat tergesa-gesa dan terkesan dipaksakan untuk diterima. "Jika SK MRP sudah dibuat 2-3 tahun lalu, masih bisa diterima, namun yang terjadi ini masih mentah. Baru lahir hari ini kemudian dipaksakan untuk diteirma, jadi tidak mungkinkan? KPU sudah memiliki Undang-Undang, mengapa SK ini harus menindas Undang-Undang?," ujarnya.
Simon menuding bahwa SK MRP No 14 Tahun 2000 tersebut menilai hanya untuk kepentingan elit politik saja. "Ini permainan elit politik. Kami tidak bisa sebut elit politik itu siapa, tapi kami nilai itu memang permainan elit politik sehingga kami ingin meluruskan saja," tandasnya.
Sementara itu, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang mengklaim sebagai media nasional rakyat Papua Barat ini juga menolak dengan tegas SK MRP No 14 Tahun 2009 tentang pemilihan kepala daerah dan wakilnya yang harus orang asli Papua dan segala bentuk peraturan yang mengikat hal tersebut.
"KNPB sebagai media nasional rakyat Papua Barat secara terbuka menyampaikan beberapa hal yang menjadi aspirasi murni rakyat Papua Barat yang selama ini dipolitisir oleh elit - eltik politik yang memiliki kepentingan tertentu, sehingga kami tegas menolak SK MRP No 14 tersebut," tegas Jubir KNPB Macho Tabuni didampingi simpatisan, Bero Kosay dan Rocky Medlama dalam jumpa pers di Rumah Bina Waena, Kamis (20/5) kemarin.
Apalagi, lanjut Macho Tabuni, sudah banyak pengalaman yang dialami rakyat Papua yang ada di gunung, lembah, rawa, hutan, pesisir pantai dan lainnya yang hanya dipermainkan oleh elit politik di Papua untuk kepentingan kelompoknya tersebut, bukan untuk kepentingan rakyat Papua secara keseluruhan.
Macho Tabuni menegaskan, banyak bukti yang sudah ada dan adanya orang asli Papua yang menjadi bupati atau walikota, ternyata juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat Papua.
Untuk itu, ujar Macho Tabuni, rakyat Papua Barat melalui KNPB secara terbuka menyampaikan ucapan terima kasih kepada pemerintah Indonesia melalui Mendagri yang telah mempertimbangkan SK MRP NO 14 Tahun 2009 tersebut guna menjalankan sistem demokrasi untuk memudahkan akses kontrol yang bertanggungjawab sebagai wujud negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Macho Tabuni mengakui, KNPB baru menyikapi hal ini, karena ada bukti ketidakadilan dan kebijakan elit politik Papua yang merugikan rakyat Papua Barat, misalnya kejadian di Puncak Jaya, mestinya Bupati merupakan anak daerah dan wakil bupati merupakan anak terbaik daerah namun tidak mampu menyelesaikan masalah antara rakyat dengan militer sehingga nasib rakyat mengambang.
Yang jelas, kata Macho Tabuni, KNPB tidak terlibat dalam aksi demo yang digelar dalam mendukung pelaksanaan SK MRP No 14 Tahun 2009 tersebut, karena hal itu hanya merupakan kepentingan elit politik saja. "Itu kepentingan orang berdasi saja, yang memanfaatkan atau memperalat aktivis mahasiswa dan tokoh dan umat gereja saja, sehingga kami bingung," katanya.
Untuk itu, Macho Tabuni menyarankan elit politik, tokoh gereja, tokoh masyarakat, adat dan lainnya untuk melakukan instrospeksi diri dan berbicara atau bertindak harus sesuai dengan hati nurani rakyat. (bat/rik/fud)
(scorpions)