Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM mewacanakan pembebasan tahanan politik (tapol) di Papua. Tidak semua tapol tersebut ditahan karena alasan subversif melakukan tindakan separatisme.

"Harus kita bedakan mana yang kejahatan subversif, mana yang hanya menyampaikan pendapat secara baik," kata Menkum HAM Patrialis Akbar di kantornya, Kementerian Hukum dan HAM Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (20/5/2010).

Menurut Patrialis, tak semua tapol memiliki niat subversif. Para tahanan yang ternyata hanya menyampaikan pendapat secara baik-baik dan tidak melakukan tindakan kriminal, tentunya hal itu bisa dipertimbangkan untuk dibebaskan. Namun untuk tahanan yang melakukan tindakan kriminal, hal itu tidak bisa dimaafkan. 

"Kalau mereka melakukan pembunuhan untuk perjuangan politiknya, tentu pembunuhannya tidak bisa dimaafkan," jelasnya.

Politisi PAN ini mencontohkan, ada sebagian tapol yang ternyata hanya menyuarakan soal kesejahteraan. Mereka mempertanyakan penggunaan dana otonomi khusus Papua Rp 33 triliun yang ternyata tidak dinikmati mereka.

"Mereka merasakan tidak menikmati itu, jadi kompensasinya mereka teriak-teriak di jalan merdeka. Padahal mereka tidak ngerti apa itu merdeka," jelasnya.

Terkait berapa banyak jumlah tapol yang akan dibebaskan, Patrialis mengaku hal itu masih dalam kajian mendalam oleh Kemenkum HAM. Sebab pembebasan tapol tersebut juga akan dilaporkan kepada presiden.

"Masih kita kaji agar laporan ke presidennya sempurna. Lebih cepat lebih baik," tandasnya.

Sebelumnya salah satu sesepuh OrganisaSai Papua Merdeka (OPM) Nicholaus Jouwe kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia pekan lalu. Penyerahan kewarganegaraan bagi tokoh OPM yang bermukim di Belanda selama 50 tahun itu dilakukan oleh Patrialis dalam kunjungan kerja ke LP Abepura, Papua.

(Rez/gah)