“Arti sebuah bangsa dan warga Negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna”

Oleh : Hendrik Hay

Tanah Papua laksana sebuah Kidung Agung yang memuat syair-syair indah yang melukiskan kemuliaan dan keagungan Tuhan di Bumi. Alamnya yang indah, udaranya yang bersih dan penduduknya masih hidup menyatu dengan alam.  Bukan hanya itu saja, pulau yang dijuluki “Buminya burung Surga” ini merupakan pulau terkaya di dunia, mulai dari sub etnik manusianya, keanekaragama bahasa yang dimiliki, budayanya, dan yang menjadi incaran manusia sejagad raya karena kekayaannya yang luar biasa. Ya, pulau Papua memang kaya dan unik, sebut saja Jans Cartens di tahun 1623 yang sambil berlayar di sepanjang pantai selatan Papua mampu merekam sebuah puncak salju yang sekarang menjadi daerah pertambangan terbesar dunia yakni PT Freeport Indonesia.

Namun apakah kekayaan yang melimpah ruah, mulai dari udara, tanah dan laut itu sudah mampu memberikan kehidupan yang layak kepada manusia Papua di zaman modern ini. Tentu saja belum, lihat saja, kemiskinan bertambah parah dihampir seantero di Papua, kriminalitas semakin tinggi, anak-anak putus sekolahpun banyak, dari waktu ke waktu kita dikejutkan dengan kematian ibu dan anak yang cukup tinggi, serta masih banyak lagi persoalan.

Padahal bila dilihat, dengan potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki setiap daerah, bukan tidak mungkin, kehidupan yang layak itu bisa digapai, namun sayangnya impian itu seakan tidak mudah bagi orang Papua di atas tanahnya sendiri. Karena pembangunan yang berlangsung di Papua adalah pembangunan NKRI sebagai pengakuan atas semangat juang rakyat Papua. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya kesenjangan di segala bidang jelas terlihat, peran serta masyarakat adat Papua dalam pemerintah masih rendah.
“Jika masyarakat Papua dihadapkan pada pendatang dengan segala keunggulan pendidikan, pengalaman dan hubungan sosial yang luas, mereka perlu diberi peluang seluas-luasnya untuk mengambil bagian secara aktif,” ungkap Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi pada salah satu lokakarya SDM Papua di Jayapura belum lama ini.

Ya, kondisi yang diungkapkan mantan Gubernur Irian Jaya  sekarang Papua ini merupakan satu pengalaman real, bahwa keterlibatan masyarakat adat Papua dalam pembangunan masih sangat jauh. Hal inilah yang kemudian memunculkan faksi-faksi politik di masyarakat Papua yang kemudian memunculkan satu perasaan senasib. “Keinginan memisahkan diri dari NKRI,” yang kemudian melahirkan UU RI No 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua sebagai solusi damai antara Rakyat Papua dengan Pemerintah Indonesia. Nah, delapan tahun sudah Otsus di Papua, puluhan triliun rupiah telah dikucurkan ke Papua, bahkan dalam kepemimpinan Barnabas Suebu selaku Gubernur Papua, dana sebesar itu langsung mengalir ke kampung-kampung melalui program RESPEK namun mengapa keinginan memisahkan diri dari NKRI semakin mengkristal.

Bahkan kini perlahan tapi pasti isu spektakuler yang memiliki daya cerna serta selera konsumsi rakyat Papua cukup tinggi adalah Referendum yang tak kalah menarik kala itu masyarakat Papua yang tergabung dalam TIM 100 mendatangi istana Negara di Jakarta dengan satu tekad yaitu pisah dari NKRI, dan hasilnya kini sedang dinikmati para penikmat di pemerintahan daerah yaitu Otsus Papua.Kini, kita kembali dikagetkan dengan isu Referendum. Percaya atau tidak isu ini memiliki daya tarik yang sama besar dengan isu Papua Merdeka. Isu ini terus memberikan pengharapan kepada orang Papua untuk pisah dari NKRI, dan ini tidak bisa dipungkiri.

Namun yang perlu diingat oleh sesama anak Bangsa adalah sangat sulit dan lamban membangun kembali rakyat Papua yang saat ini sedang membangun dengan terus memelihara isu-isu yang membangkitkan pengharapan.*