Laporan Wartawan Bintang Papua dari Lokasi Gempa Pulau Yapen

 

Rumah milik warga yang rusak karena Gempa Tektonik 7.1 SR yang 
menghantam Yapen di Serui.“Kami kecewa, ketika bencana mengguncang pulau kami, ratapan tangis anak-anak di siang bolong, tidak ada yang peduli pada kami”. Begitulah rintihan hati, salah seorang warga korban Gempa Tektonik, yang terdengar ke telinga wartawan Bintang Papua di lokasi gempa di Waropen.

Oleh : Hendrik Hay

Cuaca siang itu cukup cerah, lalu-lalang kendaraan di jalan-jalan kota terlihat ramai, aktifitas masyarakat seperti biasanya, roda perekonomianpun berjalan normal-normal saja. Namun, siapa yang bisa menebak, atau siapa pula yang bisa menganalisa dengan pasti bahwa siang itu Gempa dasyat bakal menggoncang pulau Yapen hingga menelan korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit, tidak ada yang bisa menebak.”Ini adalah bencana Alam, ini di luar kemampuan kita sebagai manusia, Tuhan punya rencana yang indah bagi manusia yang diciptakannya,” hibur Wakil Gubernur Alex Hesegem SE, saat meninjau korban Gempa di Serui. Ya, memang benar, musibah ini adalah murni bencana alam, tidak ada yang bisa diperbuat manusia kecuali lari menghindar atau mencari perlindungan untuk selamat. Tapi, bukankah manusia juga bisa berbuat sesuatu yang setidaknya bisa menguatkan sesama, bisa menghibur sesama dan juga bisa memberikan perhatian kepada sesama, itulah yang bisa diperbuat manusia. Tetapi apa jadinya jika sesama manusia sudah mulai tidak peduli, sudah mulai mencari sejumlah alasan untuk menghindar yang pastinya rasa persaudaraan, rasa keprihatinan pun akan memudar. Itulah yang terjadi pada saudara-saudara kita di Pulau Yapen. Ya, gempa tektonik berkuatan 7.1 SR yang terjadi Rabu (16/6) lalu sekitar puluk 14.00 WIT itu sontak membuat panik, ratusan bangunan beton yang berdiri kokoh mendadak runtuh, ribuan rumah tiang yang berdiri kokoh di atas permukaan air laut pun berhamburan ke dasar laut.

Kepanikan semakin bertambah ketika isu gelombang tsunami akan menghantam daratan dan melaju disepanjang pesisir Pulau Yapen, tidak ada pilihan, hanya satu pilihan yaitu meninggalkan dataran rendah serta berlari sekuat mungkin ke hutan-hutan perbukitan, ke gunung-gunung tinggi. Namun apa yang terjadi, saat gempa menggoncangkan Yapen, tidak sedikit gunung-gunung terjal nan tinggi itu menumpahkan tanah bebatuan di sepanjang lerengnya, longsoran yang parah, “mereka terjebak”.
“Tuhan itu baik, Tuhan itu luar biasa, walaupun saat ini kami harus menanggung bencana besar, namun Tuhan masih menyayangi masyarakat Yapen,” ungkap Sekretaris Daerah Drs Yan Pieter Ayorbaba MM.

Memang bencana ini patut di syukuri, pasalnya ketika gempa berskala besar itu terjadi, didahului dengan gempa awal yang tidak terlalu besar, yakni 6 Sr sehingga bisa mengingatkan masyarakat untuk meninggalkan kediaman mereka. “Ini yang patut kita syukuri, Tuhan mengingatkan kita dan tidak ingin ada banyak korban jiwa,” ucap Sekda.  Akan tetapi di balik ungkapan syukur itu, kekecewaan yang tak terbilangpun sempat terlontarkan.”Tapi mengapa di saat kami terkena bencana, Pa Gubernur melakukan Turkam, apakah Turkam terlalu penting sehingga bencana ini tidak menjadi perhatian,” singgung sekda yang nampak kecewa.

Bukan hanya itu saja, “Kami dalam bencana, sudah tidak ada perhatian pemerintah provinsi, tambah lagi pemerintah pusat yang terus mendesak kami dengan data, hanya data saja yang selalu ditanyakan, setiap mereka telephon hanya menanyakan soal data dan data,” tambah Sekda dengan nada kesal. Padahal, yang kami butuhkan saat itu adalah tindakan nyata, bagaimana kami bisa memberikan pelayanan pada masyarakat kami sedangkan kamipun terkena musibah, ini hal yang memang membuat kami benar-benar kecewa. Bantuan yang terkesan lamban, informasi di media masa yang lebih menitikberatkan pada Gempa Kabupaten Biak, memperparah akses kami pada bantuan. “dipemberitaan yang disebutkan adalah Biak bukan Kabupaten Yapen, ini yang ikut memperparah keadaan kami pasca gempa satu hari,” terang Sekda yang walaupun rumahnya juga rusak namun tetap tegar menjaga di posko bencana Yapen.

Bukan hanya itu saja, kelambanan perhatian serta minus bantuan membuat pria jangkung ini dengan tegas mengatakan bahwa Serui bila di tinjau dari sisi sejarah integrasi Irian Jaya kini Papua ke dalam Pangkuan Ibu Pertiwi, banyak pemuda di daerah ini yang rela berkorban, nyawa dan ragapun ikut di pertaruhkan. “kami kecewa, kami sepertinya ditinggalkan, perhatian pemerintah pusat maupun provinsi justru tertuju ke Kabupaten Biak, padahal bencana ini menimpa kami,” tandasnya.***