Soal Adanya Aspirasi Referendum

 

Patrialis AkbarJayapura—Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, soal permintaan referendum warga Papua terkait otonomi khusus akan dievaluasi Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua. “Ada 11 poin aspirasi. Ini akan dibahas (DPRP), apa saja yang bisa diterima,” ujar Djoko kepada wartawan, Selasa (13/7/2010) di Istana Negara, Jakarta.

Dikatakan rakyat Papua hanya sebenarnya ingin menuntut kesejahteraan.

Djoko membantah anggapan yang mengatakan bahwa komunikasi pemerintah pusat dengan otoritas Papua Barat kurang lancar. Pemerintah, sambungnya, sudah dua kali melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP. Pertemuan itu digelar di Balai Kartini dan Kementerian Polhukam.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan, dirinya menyadari adanya upaya pihak-pihak tertentu yang hendak melakukan provokasi agar masyarakat Papua Barat memisahkan diri dari Indonesia.

Menkum dan HAM menegaskan, mereka adalah darah daging bangsa Indonesia. Ketika ditanya alasan mengapa mereka menghendaki referendum, Patrialis menduga hal ini berkaitan dengan kesejahteraan. “Mereka sebenarnya ingin menuntut kesejahteraan,”ujarnya.

Sementara itu, DPRP akhirnya meresponi tuntutan masyarakat Papua yang menuntut referendum dengan membentuk tim rumusan dan pengkajian kegagalan delapan tahun pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua.

Tim rumusan dan pengkajian kegagalan Otsus Papua yang kemudian melahirkan tuntutan Referendum itu diambil setelah DPRP melakukan pertemuan dengan sejumlah komponen masyarakat Papua di gedung DPRP senin (11/7) lalu.

Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai kepada wartawan di Press Room DPRP mengatakan, Selasa (13/7) kemarin mengatakan, dari 11 rekomendasi Mubes MRP dengan Rakyat Papua, tuntutan referendum ataupun penentuan nasib sendiri tersebut tidak bisa ditindaklanjuti DPRP.

Namun hasil pertemuan tersebut, DPRP bersama komponen masyarakat telah menyapakati untuk melakukan pengkajian secara mendalam tentang kegagalan Otsus di Tanah Papua dan waktu yang telah disepakati adalah tiga minggu.

“Kami hanya fokus pada kegagalan Otsus, jadi tidak ada point lain, hanya kegagalan Otsus, dan ini mengarah pada evaluasi Otsus,” jelas Ruben.

Evaluasi Otsus, sambungnya, dilakukan oleh masing-masing komponen yakni komponen masyarakat adat, aktifis, Akademisi, dan komponen lainnya di Tanah Papua.

“Hasil dari evaluasi ini akan menjadi dibawah ke Pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti,” ungkap anggota DPRP yang sempat menjadi pemimpin aksi di Kemenkumham, Kemenkopolhukam di Jakarta beberapa waktu lalu itu.

Menyinggung adanya kesan bahwa DPRP sengaja menghindar dari aksi masa Kamis (8/7) pekan kemarin, Ruben dengan nada tegas menyebutkan bahwa dirinya tidak menghindari aksi masa, namun dalam waktu yang bersamaan dirinya dipanggil oleh presiden RI Susilo Bambang Yudhono. “saya tidak menghidar, saya tegaskan bahwa saya  tidak menghindar, saya ke Jakarta karena dipanggil presiden,” terang Ruben.

Namun diwaktu yang bersamaan juga Presiden banyak agenda maka kami langsung dipertemukan dengan Menkopolhukam dalam rangka menjelaskan perkembangan terakhir Papua. “Saya dipanggil sebagai kader Partai Demokrat (PD) untuk memberikan masukan tentang semua situasi yang berkembang di Papua kami terus diterima oleh Menkopolhukam, saya serahkan dan katakan bahwa itu adalam masukan bagi pemerintah pusat,” terangnya.

Dalam penjelasannya dengan Menkopolhukam, Ruben mengatakan bahwa di tahun 2005 Otsus pernah dikembalikan oleh rakyat Papua, namun hingga saat ini tidak ada evaluasi dan sekarang tuntutan referendum atau merdeka, sehingga tidak perlu dipandang negatif.

Untuk menuju ke komitmen agar Otsus dapat berjalan sesuai harapan masyarakat Papua adalah sistem pemerintahan di Papua harus dirubah, pasalnya sistem pemerintahan di Papua menggunakan dua Undang-Undang yang sama-sama diakui secara nasional di Indonesia, yakni Pemerintah Provinsi menjalankan Pemerintahan dengan mengacu pada UU No 21 tahun 2001 dan UU 32 Tahun 2004 sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota menggunakan UU 32 tahun 2004 sehingga ada dualisme sistem di Papua. “Kami DPRP tidak bisa memaksa pemerintah pusat untuk diputuskan, itu kewenangan pemerintah pusat, DPRP hanya sebagai penyambung aspirasi rakyat Papua, oleh karena itu sistem pemerintahan di Papua ini yang harus ditata,” tandasnya. (kom/hen)