P. John Djonga PrJAYAPURA—Masalah pelanggaran HAM khususnya di Papua disebabkan  penegakan hukum tak jelas atau tak berjalan. Pasalnya,  bila penegakan hukum berjalan dan para pelaku kekerasan dapat diadili dengan hukum yang berlaku maka  hal ini  akan membuat para pelaku akan jera untuk melakukan  tindakan melawan hukum.

Hal ini  disampaikan   P. John Djonga Pr, seorang biarawan Katolik ketika dihubungi Bintang Papua di Jayapura, Jumat  (29/10) kemarin. Menurutnya, pihaknya  melihat konflik dan perbagai  macam peristiwa dan kasus- kasus kekerasan, penyiksaan serta pelanggaran HAM di Papua ini juga  berawal dari baik pemimpin TNI/Polri maupun pemimpin pemerintahan  tak berpihak kepada keadilan.
“Semua peristiwa itu bisa terjadi juga karena selain ketidakadilan, ketidakseimbangan itu juga adalah persoalan persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) yang  ada pada masyarakat maupun  aparatur pemerintahan maupun TNI/Polri,”  tukas  pemenang penghargaan Yap Thiem  Hiem tahun 2009 di bidang perjuangan HAM.
Menurut dia, semua contoh kesalahan kesalahan  baik yang dilakukan TNI/Polri maupun pemerintahan yang tak demokratis dan tak berpihak kepada masyarakat  Papua apabila dibiarkan dan terjadi terus menerus,  dan ketika terjadi terus menerus dan hukum tak  jalan akibatnya masyarakat juga akan jalan dengan cara mereka sendiri  sehingga perlu segera dilakukan reformasi hukum dan reformasi militer.
Artinya, kata dia,  dengan beredarnya video kekerasan dan penyiksaan ini suatu tanda bahwa. Pertama, pelanggaran yang dilakukan TNI/Polri  di Tanah Papua belum pernah jerah dan belum ada sanksi hukum yang tegas kepada para pelakunya.  Kedua, dengan munculnya video kekerasan dan penyiksaan ini suatu tanda  bahwa apapun dimana saja  di Papua itu di tempat yang paling tersembunyi  dapat terekam  kasus kasus kekerasan.

“Jadi peristiwa di Tingginambut itu ada kekerasan seperti itu salah satu contoh kecil yang terjadi di Tanah Papua seperti ada banyak di tempat lain misalnya kekerasan sosial, ekonomi, budaya, moral, seks dan lain lain banyak   terjadi pada masyarakat Papua,” katanya. 
Sumber   konflik dan lain sebagainya ketika rakyat  menuntut hak haknya lalu pengamanannya  dan penyelesainnya dengan mengirim TNI/Polri, menurutnya,  ini   tak sesuai dan  tak benar artinya persoalan politik harus diselesaikan secara politik. Sebaliknya persolan ekonomi dan kejahteraan harus diselesaikan secara ekonomi dan lain lain.
Tapi yang terjadi kan tidak. Ini kan semuan jawaban  persoalan di Papua ini dengan cara pendekatan keamanan  militer. Padahal  dimana pemimpin militer, panglima dan Presiden bahwa Papua sekarang ini cara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan kemanusiaan dan bukan kekerasan dan penyiksaan terjadap warga sipil  dan dilakukan dengan bangga oleh intitusi militer.
Dia mengatakan, pihaknya  melihat kontrol dan komunikasi dari seorang  pimpinan terhadap bawahannya sangat rendah dan buruk karena itu mungkin juga dari komandan ke komandan hanya mendapat laporan laporan yang bagus dari bawahannya. Hal ini adalah suaty pelajaran bagi TNI/Polri bahwa laporan laporan yang bagus dari komandan lapangan dari Kodim dari Batalyon dari Dan Yon yang ada di lapangan lapangan jangan percaya 100%.
Menurut dia,  laporan laporan ternyata  penuh dengan tipu muslihat. Penipuan terhadap komandan sehingga orang orang seperti itu harus  segera diambil tindakan tegas karena telah mencoreng institusi TNI/Polri, yang berngkutan  telah melakukan pelanggaran HAM dan penyiksaan.
“Dari komandan Kotis  lapor ke Dandim. Dari dari Dandim lapor ke Korem. Dari Korem lapor ke Kodam. Dari Kodam  lapor ke  Pangdam. Dari Pangdam lapor ke Panglima ternyata ini beredar kekerasan yang dilakukan oleh militer,” ujarnya.
“Ini kan sungguh sungguh memalukan kita dan saya hanya mau  katakan   kepada semua  pihak bahwa peristiwa apapun yang terjadi di pedalaman Tanah Papua ini ternyata tak ada lagi yang tersembunyi bisa direkam oleh semua warga dan ini menurut saya suatu hal yang harus diperhatikan pihak militer,” ungkapnya. (mdc)