JAYAPURA—-Tim Pansus Yudicial Review DPRP bersama Tim 11 DPRD Papua Barat direncanakan pada akhir November mendatang mendaftarkan gugatan Yudicial Review atau hak uji material ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dihilangkannya pasal 7 huruf a UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus tentang Gubernur Provinsi Papua dipilih oleh DPRP. Hal ini menyusul berhasil dikumpulkannya materi gugatan seperti risalah dan data data tentang pembentukan Otsus, pencabutan pasal 7 huruf a UU No 21 Tahun 2001, risalah tentang perubahan UU Otsus di DPR RI dan MPR serta dokumen nota kesepakatan para tokoh tokoh di Papua Barat untuk masuk kedalam UU Otsus. “Semua data yang dibutuhkan untuk pengajuan Yudicial Review ke MK sampai hari ini sudah lengkap dan valid. Diharapkan putusan MK dapat diterima pada Desember mendatang,” kata Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai SIP ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Senin (22/11) kemarin.
Terkait masalah ini, Anggota Tim Pansus Yudicial Review DPRP dr Yohanes Sumarta secara terpisah menjelaskan keputusan MK terdiri dari 2 opsi yakni mengabulkan gugatan yang disampaikan DPRP atau menolaknya. Kalau mengabulkan bahwa Pilgub Provinsi Papua periode 20011-2016 dipilih DPRP. Kalau dilaksanakan di DPRP maka perlu disiapkan Raperdasus Pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Papua dan Papua Barat. Dia menjelaskan sebelum mendaftarkan gugatan ke MK yang harus dipersiapkan adalah sebetulnya UU Otsus itu isinya seperti apa jadi UU Otsus kalau dilihat sejaranya antara lain kontrak perjanjian politik antara masyarakat Papua dengan pemerintah RI.
„Pemerintah RI memberikan Otsus masyarakat menerima NKRI dengan utuh. Jadi kontrak politik ini adalah sakral dan suci. Oleh karena itu, sebetulnya kontrak ini tak boleh diubah tanpa persetujuan antara masyarakat dan pemerintah pusat,” tegasnya.
„Yang terjadi sekarang ini adalah diadakan perubahan UU No 21 Tahun 2001 dengan Perpu No 1 Tahun 2008 dan UU yang dilegalisir dan disahkan dengan UU No 35 Tahun 2008 tentang perubahan Otsus.”
Didalam Perpu N0 1 Tahun 2008 dan UU No 35 Tahun 2008, ungkapnya, ada 2 poin pokok yakni memasukan Provinsi Papua Barat dalam rangka Otsus. Ini tak masalah karena Otsus itu berlaku untuk Papua termasuk didalamnya Papua Barat tapi karena Papua Barat menjadi provinsi tersendiri maka harus disesuaikan Otsus bahwa Papua Barat masuk didalam UU Otsus sehingga perubahan yang menyangkut Papua Barat ini adalah bukan perubahan yang pokok tapi saling melengkapi.
Menurut tokoh Partai Gerindra Papua ini, perubahan dengan menghilangkan UU No 21 Tahun 2001 ayat 7 ini adalah mengubah secara total UU No 21 Tahun 2001 karena bentuk pemerintahan daerah yang telah disepakati didalam UU Otsus menjadi berubah. Mengubahnya yakni dengan Pilgub melalui DPRP maka itu merupakan suatu kesatuan dengan pasal 18 UU NO 21 Tahun 2001 yang mengatakan Gubernur beranggungjawab kepada DPRP.
„Kalau Gubernur dan DPRP dipilih oleh rakyat lantas bagaimana Gubernur memang bisa bertanggungjawab kepada DPRP tapi dia bilang saya juga dipilih oleh rakyat anda juga dipilih rakyat apa bedanya,” tukasnya.
Menurut dia, kini UU Otsus itu belum berjalan sempurna masih banyak hal hal yang belum dilaksanakan. Untuk itu, semua pihak harus mempunyai sikap bahwa setuju Otsus taoi diharapkan dilakukan sesuai dengan konsep yang ada. Dengan adanya Gubernur bertanggungjawab kepada DPRP itu dengan sendirinya masalah anggaran dan lain lainnya saling berkaitan.
Bahkan, tambahnya, sebelum memilih Gubernur pihaknya akan menjaring aspirasi dari pemilih siapa sebetulnya yang digadang gadang sebagai Gubernur. Oleh karena itu, Yudicial Review itu bukan hanya untuk mengembalikan Otsus tapi juga mengembalikan masalah perjanjian kontrak politik antara masyarakat Papua dengan pemerintah RI secara utuh.
Karena itu, lanjutnya, pihaknya bertekat menggugat masalah perubahan itu bukan karena ingin memilih Gubernur tapi sistim pemerintahan daerah yang diharapkan dalam Otsus itu dilaksanakan betul betul sesuai yang dikehendaki rakyat. (mdc/don/03)