Jayapura - Praktek penegakan HAM di Indonesia dan secara khusus di Papua, menurut Kontras Papua dan BUK (Bersatu Untuk Kebenaran), belum dikelola secara baik.  Diakui, meski sudah ada regulasi yang menjamin HAM, diskriminasi dan keberpihakan secara negatif oleh aparat hukum dan pemerintah masih banyak terjadi.   Hal itu diungkapkan saat Jumpa Pers di Kantor Kontras Papua Rabu (22/12) yang mengungkap catatan kasus-kasus HAM di Papua Tahun 2010. Johanis H Maturbongs,SH (Koordinator Kontras Papua), bersama Peneas Lokbere (Koordinator BUK), dan Olga Hamadi,SH,M.Sc (Kontras Papua) secara bergantian mengungkapkan bahwa kegagalan negara dalam merespon kekerasan di Papua Tahun 2010, dinilainya belum terciptanya rasa aman bagi masyarakat Papua. 

“Karena masih banyak praktek-praktek kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik di pihak masyarakat sipil, tapi juga di pihak aparat kemanan,” ungkapnya. 

Dikatakan, kekerasan yang terjadi di Papua secara garis besar dibagi atas tiga macam. Yaitu, kekerasan horisontal, seperti kasus perang suku di Kwamki Lama, bentrok masa di nafri dan terkahirt di Yoka, Waena. Berikutnya adalah kekerasan struktural yang melibatkan aparat keamanan sebagai pelaku kekerasan.”Masih membekas diingatan kita peristiwa penembakan Yawan Yaweni di Serui, dan berbagai kekerasan, termasuk yang terungkap lewat youtube,” ungkapnya. Berikutnya adalah kekerasan oleh kelompok misterius. Seperti yang terakhir terjadi di kampung Nafri dan pelemparan bom molotov terhadap salah satu rumah milik anggota TNI. Berbagai kekerasan baik oleh masyarakat sipil maupun oleh aparat kemanan (TNI/Polri) sebagai pelaku yang juga menjadikan masyarakat sipil mapun aparat sebagai korban, diungkapkan dalam jumpa pers tersebut yang dianggap penting sebagai ukuran penegakan HAM di Papua.

Termasuk pelarian napi di lapas Abepura yang dianggapnya sebagai satu kejadian luar biasa, maraknya akasus-kasus berdimensi politik, serta lemahnya institusi negara dalam penegakan HAM yang berakibat pada belum terpenuhinya perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM di Papua.
Berbagai catatan problem penegakan hukum dan HAM tersebut amat krusial untuk diselesaikan pemerintah pusat maupun pemerintah Provinsi Papua. “Hal ini membutuhkan keberanian untuk menghadirkan terobosan-terobosan penting khususnya komitmen pemerintah pada isu-isu penegakan HAM,” ungkapnya.  Pada pokoknya, guna menyelesaikan kasus-kasus yang terkait HAM maupun penegakan hukum yang terutama kasus makar yang kian marak, menurut Kontras dan BUK, pemerintah Provinsi Papua perlu memperkuat perwakilan Komnas HAM dan mengimplementasikan isi dari UU Otsus.
“Terutama terkait Bab XII tentang HAM, yaitu pasal 45 dan pasal 46,” jelasnya.

Dikatakan, semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi, DPRP, MRP, Perwakilan Komnas HAM papua, TNI, Polri, Depkumham, LSM HAM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama, penting untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM di Papua.
“Polda dalam hal ini harus punya tanggung jawab besar guna menjamin rasa aman bagi warga dari tindak kekerasan. Khususnya perlu diperkuat intelijen guna mengungkap misteri pelaku kekerasan yang banyak terjadi namun tidak diketahui siapa pelakunya,” harapnya.  Ketidakadilan dalam penegakan hukum, juga menjadi catatan penting Kontras Papua. “Tindak kekerasan oleh aparat TNI maupun Polri juga banyak yang terkesan ditutup-tutupi. Seperti penembakan terhadap Miron Wetipo yang belum diketahui apakah ada proses hukum terhadap aparat yang menembaknya,” ungkapnya.

Proses hukum terhadap aparat yang melakukan kekerasan terhadap masayarakat sipil tersebut, menurutnya sangat penting guna menambah kepercayaan masyarakat terhadap aparat kemanan dalam menjamin rasa aman bagi warga masyarakat, khususnya orang asli Papua.(aj/03)