Tiga angota TNI yang diduga melakukan penyiksaan warga di Puncak 
Jaya saat disidangkan di Mahmil 1II-19 Jayapura, beberapa waktu lalu. 
(foto : google)JAKARTA- TNI membantah kasus kekerasan oleh prajurit TNI yang menyebabkan kematian beberapa warga Papua adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kasus yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya pada pertengahan Maret 2010 itu terkuak ke publik setelah rekamannya tersebar di internet.

“Kita kemudian adakan proses penyelidikan bahwa itu bukan pelanggaran HAM, tapi pelanggaran perintah terhadap kegiatan yang di luar batas-batas kepatutan yang semestinya saat menginterogasi ‘tawanan’,” kata Inspektur Jenderal TNI, Letnan Jenderal M. Noer Muis, usai acara refleksi akhir tahun di Mabes TNI Cilangkap, Jumat (31/12). Muis mengatakan untuk mengusut adanya dugaan pelanggaran HAM dalam kasus itu, TNI sampai harus membentuk tim penyelidikan dan pengawasan khusus. “Setelah kita lakukan pemeriksaan terhadap oknum pelanggaran, dia memang TNI yang bertugas saat itu. Kepada masyarakat dia juga mengaku (anggota TNI),” ujarnya.Empat oknum prajurit didakwa sebagai pelaku tindak kekerasan itu, masing-masing Praka Syaminan Lubis, Prada Joko Sulistio, Prada Dwi Purwanto, dan seorang perwira Letda Cosmos. Keempatnya telah disidangkan di Pengadilan Militer Jayapura.

Pelanggaran perintah yang dimaksud, lanjut Muis, yakni adanya perlakuan di luar batas-batas kewajaran seperti memukul, menendang, dan bertindak berlebihan selama menginterogasi anggota gerombolan bersenjata yang oleh TNI disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berangkat dari bukti itu, Muis mengatakan tim selanjutnya melihat latar belakang keempat oknum melakukan tindakan di luar prosedur. Keempatnya mengemban tugas lantaran TNI diminta langsung oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengamankan wilayah yang betul-betul rawan dari gerombolan bersenjata. “Kita dapat informasi bahwa orang itu (warga yang ditahan) adalah anggota gerombolan bersenjata,” ujarnya.Awalnya, Muis mengatakan, keempat oknum prajurit sudah melakukan interogasi sesuai prosedur. Antara lain, memisahkan tahanan laki-laki dan perempuan, memeriksa oknum yang diduga membawa senjata secara terpisah. “Kita sudah ada ketentuan secara baik, persuasif, bahkan diberi makan, tapi tidak membuahkan hasil. Padahal informasi mengatakan memang dia (anggota gerombolan bersenjata),” ujarnya.

Akhirnya, keempat oknum prajurit melakukan interogasi secara lebih keras lagi dan hingga menyebabkan tahanan mengakui bahwa dirinya anggota gerombolan bersenjata. Apalagi, memang ditemukan senjata api ketika dicokok oleh TNI.Semua kegiatan interogasi sengaja direkam sebagai bukti pelaksanaan program. Rekaman, kata Muis, juga untuk bahan evaluasi bahwa interogasi yang dilakukan sudah sesuai standar dan prosedur operasi TNI.Namun, sayangnya rekaman yang seharusnya hanya untuk konsumsi internal TNI itu bocor. Bahkan, rekaman itu sempat tersiar lewat internet. “Ketika (rekaman) bocor, diartikan ada perlakuan tidak manusiawi sehingga dikatakan pelanggaran HAM,” katanya. TNI, kata Muis, sampai saat ini juga terus menyelidiki bocornya rekaman itu, karena indikasi pelaku pembocoran masih bisa mengarah ke siapa saja dan banyak alternatif kemungkinan cara pembocoran.Markas Besar TNI telah memerintahkan Pangdam XVII Cendrawasih dan Bais untuk berkoordinasi dengan aparat kepolisian. “Untuk segera mencari siapa yang mengedarkan (rekaman) ini. Karena itu sangat merugikan kita,” imbuhnya.

Selain itu, TNI telah berkomunikasi dengan Komnas HAM untuk menjelaskan hasil temuan tim yang terbaru. Sebelumnya, Komnas HAM adalah pihak yang menyelidiki dan menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam kasus ini. “Dengan apa yang kita lakukan, harapannya Komnas HAM bisa lebih menjelaskan ke masyarakat,” ujar dia. (Tempo/Khabar@net)/03