Bincang-bincang Ketua Pokja Perempuan MRP
Bukan Hanya Rana Domestik, Kekerasan Internal
Eksternal Turut Mempengaruhi Peran Perempuan di Papua
Sepanjang tahun 2010, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi di Papua. Lantas apa saja penyebabnya? Berikut hasil bincang-bincang dengan, Mien Roembiak, Ketua Pokja Perempuan MRP, Selasa(4/1).
Veni Mahuza, Bintang Papua Berbicara tentang kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan masa lalu, tentu kekerasan yang dialami perempuan di Papua ini, dapat dikatagorikan dalam kekerasan Internal dan Eksternal, yang masih kuat dipengaruhi pandangan dan praktek budaya yang pengaruhnya, pada pergeseran nilai dan pandangan terhadap perempuan. Adanya pandangan budaya yang masih kuat tadi sesungguhnya telah berlangsung lama secara perlahan lahan, sehingga perempuan tak lagi dilihat sebagai satu bagian dari kesatuan hidup sosial dalam rumah tangga, terutama dalam perannya dimasyarakat, jadi tak heran bila kekerasan terhadap perempuan di Papua terus saja meningkat.” Hal ini jelas pengaruh faktor Internal,” ungkap Mien yang pada beberapa waktu belakangan ini aktif dalam pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan Papua. “ Saya lihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan kekerasan Internal terjadi yakni pandangan budaya atau praktek budaya tadi”, ungkap Dosen Antropologi Uncen ini. Selain itu bila dilihat dari sisi eksternalnya, perlahan lahan telah terjadi pergeseran nilai terhadap adanya pengakuan terhadap perempuan yang melemah dan ini sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan perempuan, ujarnya.
Masyarakat juga turut memberi pandangan terhadap perempuan yang tak lagi menjadi bagian penting dari ikatan sosial seperti yang saya katakan tadi. Pandangan yang menyatakan kurang pentingnya peran sosial perempuan dimasyarakat, senyatanya pada bidang ekonomi dimana perempuan mengalami kekerasan ekonomi dimana dengan mudah kita lihat perempuan masuk dalam dunia pasar dengan kemampuan ekonomi terbatas dengan daya saing yang juga belum berkembang begitu baik, itu aspek ekonomi yang saya mau lihat, kata dia.
Dari segi Pendidikan berdasarkan data penelitian yang dilakukan Pokja perempuan MRP, angka kekerasan yang dialami baik Domestik, Internal dan eksternal telah menyebabkan kekerasan yang dialami perempuan di Papua untuk berpikir dan mengembangkan diri menjadi lemah sebab perempuan tak didukung oleh pendidikan dan dukungan dalam masyarakatnya.
Yang terjadi justru sebaliknya, ketika ada peluang untuk perempuan, itupun terbatas pada mereka yang berakses langsung dengan pendidikan, tetapi bagaimana dengan perempuan yang tak tersentuh dunia pendidikan yang justru menunjukkan angka yang lebih besar.
Bila melihat kembali persebaran kemajuan perempuan bisa kita lihat petanya terutama peta kasus kekerasan masa lalu yang dialami perempuan yang mempengaruhi perannya dalam pendidikan dan hal ini dapat dilihat dari berapa sih jumlah perempuan yang dapat mengecap pendidikan belum lagi susahnya akses pada daerah terisolir di beberapa daerah di Papua yang tentunya akan sangat beda untuk membandingkan tingkat pendidikan perempuan di perkotaan yang jauh lebih maju, terlebih bagi anak anak usia sekolah tak dapat nikmati pendidikan, ujarnya.
Dalam bidang Kesehatan juga ada masalah secara khusus, medan yang sulit untuk Papua berdampak langsung dengan wilayah wilayah georafis yang satu dengan lainnya yang masih memperlihatkan daerah terisolir yang tak ada sarana prasarana komunikasi, ini beda dengan daerah yang memiliki prasarana yang dapat ditempuh melalui semua sarana perhubungan.
Nyatanya, ada program kesehatan yang tersedia, namun Infrastruktur jalan masih jadi hal rumit untuk menjawab masalah kesehatan dimana pusat pusat kesehatan sudah banyak dibangun, namun disatu sisi SDM yang ditempatkan untuk melayanai perempuan sangat minim, semua ini berdasarkan data yang kami miliki, kata Mien Roembiak.
Kondisi demikian terlihat bahwa perempuan yang mengalami kematian karena penyakit maupun perempuan yang meninggal karena tak tertangani amat mudah ditemui didaerah pedalaman Papua.
Pemberdayaan Tanpa Perlindungan
Tak hanya fisik, semua aspek ini, entah pendidikan, kesehatan, ekonomi sosial dan budaya telah mengantar perempuan di Papua pada situasi sulit yakni terabaikan, dalam artian perempuan belum menjadi prioritas dalam program program pembangunan, ungkap Mien. “ Saya setuju bahwa ada pembangunan fisik dijalankan, namun dirinya kembali bertanya untuk siapa pembangunan, dan pelayanan pada semua aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial maupun budaya sudah sejauh mana, katanya bertanya?
Bila berbicara tentang pemberdayaan perempuan di Papua, bila perempuan sedini mungkin tak mendapatkan perlindungan dalam semua aspek hidupnya, maka sesungguhnya bukanlah pemberdayaan. Sebab pemberdayaan terjadi ketika kaum perempuan telah mendapatkan perlindungan serta punya peluang, lalu bagaimana dengan kaum perempuan yang mengalami masalah yang cukup serius dalam pendidikan.
Ia mengingatkan bahwa perempuan dengan masalah pendidikan, tak mempunyai peluang untuk meningkatkan kapasitasnya, padahal harapan yang sesungguhnya ada, ketika perempuan mengemcam pendidikan, ia dapat menolong hidupnya dan dapat meningkatkan kapasitasnya.
Pertanyaan kembali muncul siapa yang dapat memberdayakan mereka?. Dirinya kembali mengingatkan, bahwa untuk memberdayakan perempuan Papua, maka peran perempuan yang dianggap lebih maju dalam semua aspek dan ketrampilan diharapkan punya rasa peduli, sebab yang bisa menolong perempuan adalah perempuan sendiri yakni mereka yang dianggap beruntung dan peduli untuk memberdayakan perempuan di Papua, ungkapnya.**/03