Massa gereja sambil membawa kayu menyerupai salib dan peti mati, saat menggelar aksi penolakan Otsus di halaman DPRD baru-baru ini.

Massa gereja sambil membawa kayu menyerupai salib dan peti mati, saat menggelar aksi penolakan Otsus di halaman DPRD baru-baru ini.

Orang asli Papua yang sebagian besar atau 80 persen berada di kampung-kampung sedang menata jati dirinya melalui program Respek. Gerakan perubahan ini merupakan salah satu amanat Otsus.  Nah, kalau Otsus ditolak, maka pembangunan orang asli Papua di kampung-kampung akan terbengkalai dan orang kampung menderita. Berikut catatan seorang jurnalis, Krist Ansaka, yang dikutip Harian Bintang Papua.

DUA tahun lalu,  Dewan Adat Papua (DAP) menolak pemberlakuan Otsus di Papua lantaran Otonomi khusus (Otsus)  dinilai gagal untuk membangun orang asli Papua. Sikap penolakan itu, kembali terjadi pada 8 dan 9 Juli  tahun 2010, melalui aksi yang digelar berbagai komponen di depan gedung DPRP. Aksi penolakan  Otsus yang digelar berbagai komponen di pusat-pusat kota itu, termasuk di Jayapura, adalah  aksi wajar-wajar saja. Pasalnya ada sejumlah amanat  Otsus yang dinilai belum dilaksanakan. Tapi, dari sekian amanat itu, salah satunya  sudah mulai nampak  di kampung-kampung, yaitu perubahan yang terjadi ketika rakyat  mulai  menata dan mengembalikan jati dirinya melalui program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek).
Suka atau tidak suka, sejak Respek diterapkan oleh Gubernur Barnabas Suebu tahun 2007, dan kini sudah tiga tahun, mulai nampak harga diri orang kampung mulai terdongkrak.Pasalnya, pembangunan yang selama ini dilakukan dengan sistem proyek, cenderung membunuh harga diri, membunuh semangat membangun, dan menjadikan rakyat di kampung-kampung sebagai objek dan penonton pembangunan. Tapi Respek, merupakan gerakan membangun dari dari bawah dan dari  keberadaan rakyat (berpihak kepada rakyat), gerakan memperdayakan rakyat, dan Respek dapat mendongkrak  kemandirian dan harga diri orang kampung. Hal itu nyata dari 80 persen orang asli Papua yang tinggal di kampung-kampung, mulai membangun dan tinggal di rumah yang baik, seperti di Maryam (Boven Digoel) atau di Soba di Kabupaten Mappi serta kampung-kampung lainnya di seluruh Papua.
Bukan hanya itu hasil Respek. Tapi kini sebagian orang di kampung- kampung sudah mandi dengan air bersih, makan yang baik dan bergizi, dan hasil kebunnya melimpah dan dapat dipasarkan ke pasar-pasar terdekat.
Katakan saja seperti Neli Marian  dan perempuan lainnya di Kampung Abusa, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, sejak 2007 menerima dana Respek 15 persen dari Rp 100 juta atau Rp 15 juta, telah berhasil membuat peternakan ayam kampung, membuat kebun sayur-sayuran, dan kini mereka secara rutin menerima pelayanan kesehatan. Sedangkan anak-anak mereka usia sekolah, kini mulai bersekolah dengan baik.
Neli Marian dan perempuan lainnya di Kampung Abusa itu, hanya contoh dari ribuan perempuan-perempuan dan rakyat lainnya di kampung-kampung di seluruh Papua yang mulai tergerak menata diri dan keluarganya melalui program Respek.
Ini adalah awal dari perubahan rakyat asli Papua. “Hanya dalam tempo tiga tahun, awal perubahan itu sudah mulai nampak di kampung-kampung. Dan saya yakin seyakin-yakinya, kalau gerekan membangun ini dilakukan secara kontinyu, maka dalam tempo 15 sampai 20 tahun mendatang, rakyat asli Papua  akan mandiri atau sejahtera di atas kekayaannya sendiri,” ungkap Barnabas Suebu ketika melakukan kegiatan Turun Kampung di Pegunungan Bintang, Yahukimo, Boven Diogel, Merauke, Mappi, Jayawijaya, Tolikara dn juga dalam berbagai kesempatan, baik di Papua maupun di luar Papua.
Mengapa jati diri dan hak orang kampung harus dikembalikan? Karena Otsus (atau kewenangan mengatur sendiri) yang murni dari dan ada di kampung. Kewenangan itu untuk mengatur, mengawasi, mempunyai aspirasi, mewujudkan aspirasi, menentukan atau memutuskan dan menikmati hasil yang dicapai serta harapannya dapat  terwujud.
Orang asli Papua sebagian atau 80 persen ada di kampung. Untuk itulah Respek tujukukan untuk mengangkat hak-hak dasar orang asli Papua yaitu hak untuk mendapatkan makanan baik dan bergizi, kesehatan yang baik, pendidikan yang baik, pemberdayaan ekonomi rakyat dan kesetaraan gender.
Kemudian, Respek memberikan perlindungan atas ancaman, tekanan dan kepunahan. Dan Respek dapat mewujudkan kegiatan pemberdayaan dalam segala aspek.  Untuk itu, Gubernur Papua memberikan kepedulian yang tinggi, komitmen dan hati yang berpihak kepada rakyat asli Papua yang ada di kampung-kampung.
Siapa pun tidak bisa menyangkal, termasuk berbagai komponen yang melakukan aksi penolakan Otsus, bahwa pembangunan di Papua selama ini tidak memberikan perhatian kepada rakyat di kampung-kampung  yang tersebar di gunung, lembah, hutan belukar, rawa dan pesisir pantai.  Padahal, 80 persen orang asli Papua tinggal dan hidup di kampung-kampung.  
Jika orang asli Papua di kampung-kampung itu diabaikan, maka sama saja, kita terlibat secara sistimatis memperlebar  jurang  antara orang yang ada di kota dengan orang asli Papua  di kampng-kampung  yang umumnya sangat miskin dan terabaikan.
Jadi program Respek atau gerarakan masyarakat membangun diri dan kampungnya itu merupakan wujud dari pelaksanaan Otsus yang paling mendasar untuk mendongkrak harga diri orang asli Papua.