Mengenal Buku “BERANI MEMBONGKAR DISKRIMINASI Memberdayakan PEREMPUAN Papua” Karya Dra. Lievelien Louisa Ansanay Monim (Bag. 3)

TAMPILNYA Ibu Lievelien di panggung politik lokal Kota Jayapura pada tahun 2010 lalu sungguh mengejutkan. Sebuah keputusan tiba-tiba yang amat berani, meninggalkan dunia pendidikan yang digelutinya bertahun-tahun dan masuk ke ranah politik yang masih sangat awam. Ibarat menelusuri hutan belantara yang maha luas.

“Saya memang menyadari bahwa politik akhir-akhir ini mendapat citra yang konotatif di mata masyarakat dan dianggap sebagai sebuah dunia hitam. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa demokrasi yang menopang politik itu sendiri kerap kali dicederai oleh pelbagai kepentingan. Tetapi saya berani ingin maju dan menggelutinya karena saya merasa terpanggil untuk membangun citra politik yang santun sebagai politisi perempuan dan mengubah semua image buruk itu.  Saya ingin mengembalikan makna instrinsik yang luhur dari politik yakni seni mencapai kesejahteraan bersama,” tulisnya. Tetapi kekuatan politik dan popularitasnya sungguh mengejutkan. Bayangkan, dalam Pilkada Pertama Kota Jayapura 11 Oktober 2010 lalu, sebagai ‘pemain baru’ di dunia politik, ia bisa meraup banyak dukungan suara bersama Pak Jan Hendrik Hamadi (Jalin Kasih Menjawab Perbedaan) yang diusung Demokrat. Bahkan, KPU Kota Jayapura pun telah memutuskan keduanya maju ke Putaran Kedua bersama BTM-Alam, sebelum akhirnya keputusan itu mental di tangan MK oleh berbagai gugatan yang dilayangkan  pasangan lainnya.
Dan apakah popularitas dan dulangan suara yang diraih pada pemilihan pertama 2010 lalu didongkrak juga oleh buku yang ditulisnya ini? Tak ada yang bisa menjawabnya karena perlu bukti otentik melalui suatu survei yang kredibel. Tetapi beberapa kali bertemu dan berbincang-bincang dengan Ibu Lievelien, beliau selalu menceritakan tentang ratusan SMS dan telepon yang berdering di handphone miliknya. SMS dan telepon itu datang dari para sahabat, rekan kerja, kenalan, dan para simpatisan massa pendukungnya dari kalangan akademisi mempertanyakan kapan buku “BERANI MEMBONGKAR DISKRIMINASI Memberdayakan Perempuan Papua” ini di-launching (diluncurkan) dan dibedah. Sebab menurutnya, dari 1000 eksemplar buku yang dicetak, sekitar 500 eksemplar sudah dibagi oleh tim pemenangnya dan juga dibantu oleh anaknya sendiri.
“Kalau mereka sudah tanya kapan launching, saya cuma bisa menjawab, pasti suatu saat akan diluncurkan, tinggal menunggu saat yang tepat, harap hadir ya. Ada beberapa teman saya di Uncen sudah melamar diri jadi pembedah, dan jujur saya terima banyak pujian atas pikiran-pikiran yang saya tuangkan dalam buku ini,” kata Ibu Lievelien.
“Jika tidak ada halangan, pertengahan April akan kita luncurkan dan bedah dalam sebuah kesempatan istimewah,” tegasnya.
Masih teringat pertemuan pertama saya dengan Ibu Lievelin membahas mimpinya untuk menulis sebuah buku. Semua pikiran-pikirannya yang amat brilian saya catat dan rekam dengan seksama. Di situlah saya mulai mengenal sosok brilian seorang putri terbaik Papua yang memiliki cita-cita luhur membangun kaum perempuan di Kota Jayapura ini. Ketika ditawarkan menjadi editor bukunya, saya menjadi semakin mengerti, ke arah mana kiblat perjuangan politik seorang Ibu Lievelien yang baru terjun di arena politik ini. Nafas perjuangan ala kaum pejuang emansipasi wanita dan tokoh-tokoh feminis sungguh terasa. Dan ketika mimpi untuk menulis sebuah buku telah jadi kenyataan, ia pun optimis mimpinya menjadi seorang Wakil Walikota bakal mengikutinya.
LA VIDA ES SUENO, demikian Ibu Lievelien menulis di Bagian Enam bukunya. Hidup adalah mimpi. Tanpa mimpi, tak ada masa depan yang bisa digenggam dengan pasti. Mimpi itu ibarat kompas yang mengantar dan menunjuk jalan bagi manusia untuk maju mencapai apa yang dicita-citakan. Semua pemimpin besar di dunia ini pun sukses menjadi pemimpin terkenal sepanjang sejarah semata-mata berawal dari mimpi. Lihatlah Senator Barack Obama yang berhasil menjadi presiden kulit hitam pertama di negeri Paman Sam, Amerika Serikat mengalahkan rivalnya John McCain November 2008 lalu. Tak ada yang menyangka, diskriminasi politik rasial yang sedemikian lama terpelihara di negeri adikuasa itu runtuh tiba-tiba dipatahkan oleh Obama. Dan hari ini, semua kita terkagum-kagum pada kesuksesan seorang Obama, menjadikannya sebagai ikon dan dasar inspirasi bagi kelahiran pemimpin-pemimpin baru di Tanah Papua ini.
Percikan hati dan pikiran kritis nan sederhana yang dituangkan Ibu Lievelien dalam buku “BERANI MEMBONGKAR DISKRIMINASI Memberdayakan Perempuan Papua” adalah juga menjadi bagian dari mimpinya. Mimpi tentang hadirnya kaum perempuan yang cerdas dan berkualitas untuk memimpin Bumi Cenderawasih ini di berbagai wilayah dan bidang kehidupan, termasuk di Kota Jayapura. Jika fakta sejarah diskriminasi yang sedemikian kuatnya mampu dipatahkan oleh Obama di Amerika Serikat, mengapa kaum perempuan di Papua tidak mencoba mematahkan diskriminasi gender untuk tampil menjadi pemimpin? Tentunya mimpi itu tidak bisa turun dari langit begitu saja tanpa ada usaha dan kerja keras. Sederet gagasan sederhana yang telah dituangkannya tentang bagaimana memberdayakan kaum perempuan di Kota Jayapura harus ikut menopang dan mendukung perjuangan kami untuk mencapai mimpi itu.
Menurut Lievelien, kaum perempuan Papua tak boleh terus-terusan kalah dan pasrah. Perempuan Papua haruslah menjadi pemenang atas kehidupan. Sebab ketika perempuan menjadi seorang ibu, sesungguhnya ia telah menjadi pemenang kehidupan dengan berani menerima tanggung jawab kodrati sebagai penerus dan pemelihara kehidupan baru. Dan untuk menjadi pemenang, perempuan harus tampil berani mendobrak sekat-sekat gender tak demokratis. Berani meruntuhkan tembok budaya patriarkat yang angkuh. Berani membongkar diskriminasi yang tak berkeadilan sosial. Pertumbuhan demokrasi yang telah memberi kebebasan bersuara dan berpolitik harus juga dimanfaatkan oleh perempuan di Tanah Papua—Tanah yang Terberkati oleh Injil ini—untuk maju mengembangkan potensi dirinya.
Sejarah penindasan dan diskriminasi perempuan di Papua bagai litani yang memilukan. Sejarah itu harus diubah dengan jalan “memberontak” dan melawan matra-matra politik, budaya, ekonomi dan agama yang telah membentuk peran sosial yang timpang. Demokrasi dan keadilan sosial harus ditegakkan. Kaum perempuan di Papua harus berani membongkar struktur kekuasaan patriarkat yang diskriminatif dan membangun model kekuasaan baru yang lebih adil dan seimbang. Budaya taken for granted atau menerima begitu saja semua nilai dan norma patriarkat yang dijunjung tinggi perempuan selama ini, harus diruntuhkan. Sebab budaya ini merupakan halangan terbesar bagi upaya perlawanan terhadap sistem kekuasaan patriarkat. Namun perlu diingat bahwa melawan sistem patriarkat tidak berarti membenci dan melawan laki-laki. Sebab dalam sistem ini, sebagian laki-laki yang tak mampu pun ikut menjadi korban, terutama dalam kelas ekonomi ketika kemiskinan dan sumberdaya yang dimiliki sangat rendah.
Paradigma berpikir di atas serentak menuntut adanya pengakuan bahwa perubahan sejarah yang ditandai oleh kemajuan dan modernisasi di pelbagai bidang kehidupan membawa pengaruh perubahan yang lebih baik terhadap posisi dan peran perempuan. Misalnya kasus pelacuran, kapitalisme dan kerakusan yang tengah bertumbuh di tanah ini. Patut dikaji secara seimbang dan komprehensif masalah-masalah yang berhubungan erat dengan peran perempuan, seperti kapitalisme dalam sistem perekonomian negara yang diklaim sebagai ideologi modern yang menindas perempuan. Watak kapitalistik dalam industri hiburan dan pelacuran yang mengkomersialisasi tubuh perempuan telah ikut membangun kultur perendahan terhadap martabat perempuan di Papua. Namun dalam kondisi dimana negara tidak menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi perempuan akibat utang luar negeri yang menumpuk dan praktik korupsi para pejabat yang tak pernah habis dibasmi, sektor industri hiburan dan bisnis pelacuran yang berwatak kapitalistik adalah pilihan terakhir untuk mempertahankan hidup.
Akhirnya Lievelien menyadari bahwa gagasan-gagasan tentang kemerdekaan perempuan lewat ajakan BERANI MEMBONGKAR DISKRIMINASI ini hanya dapat diwujudkan jika dan hanya jika negara, dalam hal ini pemimpin Indonesia khususnya di Tanah Papua ini, memiliki kepekaan dan kesadaran gender untuk membenah sistem dan struktur kekuasaan berbasis gender pada matra-matra sentral seperti pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Dengan peningkatan dan pemberdayaan matra-matra ini sebagaimana kami uraikan dalam gagasan di bagian sebelumnya, kami yakin penindasan dan kekerasan terhadap perempuan dapat ditanggulangi dan peran perempuan sebagai mitra kerja laki-laki dalam seluruh sektor kehidupan mendapat tempat dan kemungkinan yang luas. Ideal ini juga tentu harus didukung oleh keterbukaan agama, terutama Kristen dan Islam untuk mengkaji dan menafsir ulang teks-teks Kitab Suci, dokrin Gereja, fatwa dan hadis Islam yang selama ini membentuk persepsi negatif terhadap perempuan.
Sekali lagi Lievelien menegaskan bahwa semua gagasan cemerlang yang dituangkannya dalam buku itu hanyalah barus sebatas mimpi. Perjuangan ke depan untuk meraih impian menjadi Perempuan Papua Baru itu sangat berat dan menantang. Tetapi ia yakin, ia tetaplah menjadi pemenang karena dengan bermimpi, kami telah menggenggam sebagian kemenangan itu. Karena itu, di akhir tulisan ini kami mengajak semua kaum perempuan di Tanah Papua tercinta, khususnya di Kota Jayapura: “BANGKITLAH....., KAMU BISA! Bermimpilah mulai hari ini, tanamkanlah cita-cita dalam diri anak-anakmu, tingkatkan kualitas dirimu, jadilah manusia yang mandiri dan cerdas, dan bangkitlah mengejar ketertinggalanmu. Lawanlah sistem dan struktur kekuasaan negara yang tidak berpihak pada hak dan kepentingan kaummu. Sadarilah, sejarah buruk tengah mencengkrammu, dan hanya kamu yang bisa mengubah sejarah itu menjadi kemenangan. Jika bukan kita, siapa lagi? Dan kalau bukan hari ini, mau tunggu kapan lagi?” (Gusty Masan Raya/Selesai)