Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua, Pdt. Elly Doirebo Sth MM, 
Pdt. Dr Benny Giay, Pdt. Socrates Sofyan Yoman ketika jumpa pers 
menyikapi situasi Papua terkini di Kantor Sinode KINGMI, Jalan Sam 
Ratulangi, Jayapura, Selasa (1/6).

Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua, Pdt. Elly Doirebo Sth MM, Pdt. Dr Benny Giay, Pdt. Socrates Sofyan Yoman ketika jumpa pers menyikapi situasi Papua terkini di Kantor Sinode KINGMI, Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, Selasa (1/6).

 

Pimpinan Agama: NII Sudah Jelas Makar, Tapi Tak Dikerasi Seperti Papua

JAYAPURA—Kekerasan yang  terus dilakukan lembaga negara dilihat sebagai siasat  untuk meradikalisasi atau membuat orang Papua makin radikal atau menyuburkan aspirasi Papua merdeka  (baca: aspirasi M) di kalangan masyarakat Papua.  Demikian antara lain disampaikan Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua masing masing,  Pdt. Elly Doirebo Sth MM, Pdt. Dr Benny Giay, dan Pdt. Socrates Sofyan Yoman ketika jumpa pers menyikapi situasi Papua terkini antara lain spanduk Papua Tanah Damai yang dipanjang TNI/Polri di Kantor Sinode KINGMI, Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, Selasa (1/6).

Pdt. Dr Benny Giay mengatakan kekerasan terhadap  rakyat sipil yang dilakukan lembaga keamanan negara baik TNI/Polri di Tanah Papua terjadi silih berganti. Sebuah masalah kekerasan  belum selesai dituntaskan muncul lagi kekerasan yang lain. Bahkan semua kekerasan itu berada di luar kontrol Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua.  “Ibarat  kita memberikan cek kosong ke lembaga lembaga lain karena Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua belum pernah menindaklanjuti proyek  itu dengan merumuskan Papua Tanah Damai seperti apa baik di bidang agama, politik, kebudayaan  serta kemasyarakatan,” tukasnya. 
Padahal, lanjutnya,  ketika terjadi pertemuan dihadiri Uskup dan semua Pimpinan Gereja Gereja  di Tanah Papua serta DPR Papua ketika  peluncuran Buku Misi Gereja dan Budaya Kekerasan di Tanah Papua di Aula STT tahun 2006  didalam acuan pihaknya telah merusmuskan suatu gagasan  yang bagus untuk  memberi ruang kepada  para gembala, katakis, imam dan petugas gereja di tingkat komunitas untuk bicara tentang Papua Tanah Damai.
“Gagasan gagasan bagus ini kita  tak pernah pegang dia, rumuskan dia, kita perjuangkan dia  lewat lembaga gereja, perempuan dan pemuda mungkin terbatasnya sumber daya manusia di tingkat gereja,” katanya.
Pdt. Elly Doirebo Sth MM mengatakan pihaknya mempersoalkan statemen aparat keamanan Papua Tanah Damai karena tanah ini tetap damai dari masa lalu sampai kini.  Pihaknya mengatakan kehidupan damai di Papua adalah orang Non Papua   dapat hidup bersama masyarakat asli orang Papua dan saling menghargai sebagai manusia dan masing masing tahu kodratnya dia dimana berada dan bagaimana kepentingan orang asli sehingga jangan menimbulkan cekcok antara satu dengan yang lain.
Dia mengatakan, sebenarnya pihaknya ingin menciptakan Papua Tanah Damai. Ironisnya rasa keindonesiaan dia rasakan ketika berada diluar negeri.
Menurut dia,  siapapun ingin bicara tentang Papua buka kaca mata Indonesia dan pakai kaca mata Otsus melihat Papua itu baru pas. Karena    orang di Papua bertindak berdasarkan Otsus. Hidup dalam nuansa itu. “Ketika kami bergerak  dalam nuansa itu orang lain lihat dalam kaca mata umum Indonesia tak pas dan kami selalu akan salah. Orang Papua suka suka terus dia angkat bendera Bintang Kejora. Itu jelas jelas dalam Otsus adalah lambang daerah. Tapi ketika dia lihat dengan kacamata Indonesia salah.  Tapi kalau dia lihat dalam kacamata Otsus tak salah,” katanya.
Menurut Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua, pihaknya melihat lembaga keamanan  negara menunjukkan tanda- tanda dan perhatian untuk mengangkat tema Papua Tanah Damai.  Damai itu indah, Damai itu kasih dan  lain lain  belakangan ini. Tapi amat disayangkan tindakan tindakan yang dilakukan lembaga tersebut  hanya berhenti diseputar wacana wacana  indah di spanduk spanduk, di depan lembaga lembaga keamanan atau di jalan masuk pusat pemukiman dan perkantoran. “Dalam suasana Paskah ini  kami mengajak umat untuk menyimak kekerasan berikut ini yang bertentangan dengan kata kata indah tentang perdamaian  di spanduk spanduk  tadi,”katanya.  Mereka pun membuka rekaman kembali peristiwa yang terjadi, antara lain;  30 Mei –2 Juni Anggen Pugu/Tunaliwor Kiwo bersama Telengga Gire mengalami penyiksaan oleh Anggota TNI di Pos Kwanggok Nalime Kampung Yogorini Distrik Tingginambut.
Pada 15 September 2010 sekitar pukul 18.30 WIT Aparat Brimob  dari Kompi C tanpa memberikan arahan dan peringatan melakukan penembakan terhadap dua orang korban sipil masing masing Naftali Kwan (50) dan Sapinus Kwan (40)  serta Arfinika Kwan mengalami patah tulang punggung  akibat terpelosok jatu ke jurang saat berlari menghindari aparat. Pencoretan nama nama anggota MRP terpilih almarhun Agus Alue Alua dan Ny Hana Hikoyabi awal April 2011. Penembakan terhadap 2 orang warga sipil di Dogiyai  dan penyisiran terhadap masyarakat di sekitarnya dalam rangka melindungi Bandar togel Kapolsek kamu Martinus Marpaung. 
Isu TNI—Polri akan melakukan latihan gabungan di Pegunungan Tengah. Penganiayaan dan pembunuhan terhadap Derek Adii di Nabire pada 14 Mei 2011. Penikaman terhadap Gerald Pangkali di depan Korem oleh 2 orang anggota TNI Waena 18 Mei (sekalipun itu sudah dibantah bukan ditikam). Penanganan terhadap kekerasan di Abepura yang berpihak kepada pelaku kekerasan bukan kepada korban pada 29 Mei lalu.
Kekerasan demikian dilakukan sambil menyibukan diri memasang spanduk tadi. Maka itu kami lihat antara, sebagai upaya upaya lembaga negara untuk memelihara budaya pembohongan publik  yang sering dikemukakan pimpinan lintas agama di Jawa. Budaya bicara lain main lain terus dipelihara. Dengan semangat kebangkitan Kristus  mari kita hentikan budaya “Pembohongan Publik” tadi . Kedua, kekerasan yang  terus dilakukan oleh lembaga negara ini kami lihat sebagai siasat  untuk meradikalisasi atau membuat orang Papua makin radikal atau menyuburkan aspirasi Papua merdeka  di kalangan masyarakat Papua  yang kemudian  bisa mereka pakai sebagai alasan untuk menangkap atau membunuh orang Papua. Lembaga keamanan negara  berperan sebagai penabur  benih aspirasi Papua merdeka dengan pendekatan kekerasn yang terus menerus  dan kemudian mereka sendiri tampil sebagai  penimat apa yang  telah mereka tabor. Mereka menuai benih benih  kebencian yang ditanam  karena ujung ujungnya melahirkan separatism yang kemudian menjadi  surat izin untuk operasi keamanan  yang sekaligus menjadi sarana  untuk mempercepat kenaikan pangkat.    Ketiga, kami melihat maraknya spanduk kasih itu damai dan lain lain atau kegiatan seperti KKR atau penyelengaraan Paskah Naional dan lain lain yang mendatangkan pembicara dari pusat  hanya sebagai upaya berbagai pihak  untiuk menyembunyikan wajah kekerasan negara yang telah ditunjukan diatas.
Pdt. Dr Benny Giay menandaskan, mata rantai kekerasan  ini walaupun mungkin dilakukan tanpa sengaja tapi bagi orang Papua proses proses  yang menyuburkan aspirasi Papua  merdeka.
Ketika ditanya langkah langkah konkrit yang dilakukan Pimpinan Gereja Gereja diu Tanah Papua untuk mencega peristiwa peristiwa kekerasan, dia mengatakan, pihaknya melibatkan umat  untuk membangun kesadaran. “Ini yang penting karena ini barang sudah diluar kontrol kita. Kami tak bisa kontrol lagi. Kita sudah tak  bisa pegang kendali,” katanya.     Socrates melanjutkan,  terkait hal ini Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua lebih mendengar suara umat.  Pasalnya, kalau rakyat ingin dialog, maka pihaknya mendukungnya  untuk  menyelesaikan persoalan di Papua karena kekerasan tak akan menyelesaikan persoalan kekerasan. Kekerasan akan melahirkan kekerasan yang lebih keras lagi.  Dia mengatakan, umat Tuhan di Tanah Papua berteriak dimana mana baik  Papua maupun di luar Papua menyampaikan masalah Papua tak bisa diselesaikan dengan muncong senjata serta dengan mengkreasi kekerasan yang membuang energi. “Solusi yang bermartabat, manusia   dan simpatik datang dialog antara rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia selesaikan persoalan Papua.,” ungkapnya.  Menurut Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua prihatin menemukan diskriminasi yang luar biasa seperti peristiwa yang terjadi 29 Mei justru pihak korban, tapi pelaku kejahatan ini dibiarkan leluasa. Karena itu, lanjutnya, pihaknya menghimbau kepada aparat keamanan secara bijaksana menyikapi suatu persoalan itu. Dia mengatakan,  secara nasional pemerintah Indonesia dan aparat keamanan sangat diskriminatif menyikapi masalah masalah yang terjadi di Papua seperti  yang saya tegaskan tadi Negara Islam Indonesia (NII) sudah jelas jelas dikatakan makar kenapa itu tak diperlakukan dengan keras. Yogyakarta secara jelas jelas menentukan  nasib sendiri kenapa orang orang itu ditangkap dan dipenjarakan.  “Ini  jadi pertanyaan bagi kami. Kepentingan pemerintah Indonesia di Tanah Papua adalah kepentingan ekonomi dan politik serta keamanan. Kalau  tiga kepentingan ini diganggu orang Papua terus jadi korban,” ungkapnya. Karena itu selama ini Gereja, katanya, rakyat Papua selalu menyampaikan mari kita duduk bicara atau dialog itu dimana mana. Semua rakyat Papua meminta itu.  Kami harap kekerasan baik parsial atau sporadis kami minta dihentikan di Tanah Papua ini. Pihaknya mengimbau kepada lembaga negara  khususnya TNI/Polri  menjelang Paska  Hari Kenaikan Kristus diharapkan Yesus membawa damai. “Jadi semua orang harus berpikir damai yang sesungguhnya bukan damai yang secara teori atau gantung spanduk  dimana mana tapi tetap melakukan kekerasan,” tukasnya.