JAYAPURA—Pelantikan unsur pimpinan MRP Papua Barat masih terus menuai sorotan. Kali ini datang dari Direktur La-Keda Institute, Papua Lamadi de Lamato dan salah satu tokoh Budaya Pegunungan Tengah Matius Kiwo. Menurut Lamadi de Lamato, keberadaan MRP Papua Barat sangat meresahkan dan kini menjadi polemik baru di Papua.  Dengan dua MRP sama dengan orang Papua diadu domba. Soalnya,  pembentukan MRP Papua Barat hanya mengacu pada Peraturan Pemerintah  No 54 Tahun 2004 Pasal 74 Ayat 1 yang jelas-jelas menyalahi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang menyebutkan satu MRP bukan dua  MRP.  Untuk itu lanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak membatalkan pembentukan sekaligus pelantikan MRP di Papua Barat oleh Gubernur Abraham O Atururi di Manokwari pada Rabu (15/6) yang lalu.  Menurutnya, saat ini, orang Papua mulai saling berperang statemen mengenai MRP, yang bentukannya sarat dengan kepentingan. Ada yang bilang ini sangat terkait dengan kepentingan Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Provinsi Papua Barat, ada juga yang mengatakan bahwa ini adalah eksperimen politik pecah belah orang asli Papua yang di skenario oleh Jakarta. Karena itu, lanjunya, pihaknya setuju apabila SBY menyikapi polemik di Papua. Selama ini, SBY hanya percaya stafnya, tapi tak satupun yang memberi ide solusi.

“Dua  MRP itu haram hukumnya. Masak sih, sudah ditentang habis-habisan bahwa Papua hanya butuh 1 MRP tapi Gubernur Papua Barat Abraham O Ataruri tetap tancap gas. Sesama elit coba saling mendengar dong ; DPR, DPD RI, DPR RI dan Gubernur Papua sudah bersuara keras bahwa kita tidak boleh bikin 2 MRP tapi tetap saja dilanggar,” tegasnya. ketika dihubungi di Jayapura, Sabtu (18/6) terkait polemik pembentukan MRP Papua Barat.
Penulis Buku Papua di Titik Nol ini mengatakan, pihaknya heran sesama elit  politik di Papua tak saling mempedulikan. Ketika pembentukan MRP menuai protes dimana mana, mestinya Gubernur Papua Barat Abaraham O Atururi mematuhinya.
“Pak Bram harus  patuh dan dengar dong. Pejabat itu kan harus jaga honai itu sampai kapanpun harus satu. Kalau begini caranya, apa gunanya pembangunan yang bernama Otsus Papua,” tukasnya.
Dia mengatakan, seluruh  masyarakat di Tanah Papua patut prihatin dengan sikap Abraham O Otururi. Dua MRP sama dengan robohnya honai yang menjadi simbol kultural orang asli Papua.
Sebagaimana diwartakan, dasar pembentukan MRP Papua Barat adalah Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2004 Pasal 74 Ayat 1 menyebutkan: dalam hal pemekaran provinsi Papua menjadi provinsi provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing masing ibu kota  provinsi. Kemudian Ayat 2 menyebutkan: Tata cara pembentukan, susunan dan kedudukan, keangggotaan, pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam PP ini.
Surat Mendagri Nomor 161/92/4824/SJ Perihal pembentukan MRP di Provinsi Papua Barat. Surat yang ditandatangani Mendagri ditujukan kepada Gubernur dan Ketua DPR Papua Barat. Dalam surat tertanggal  8 Desember 2010 lalu itu meminta Gubernur dan Ketua DPR Papua Barat untuk mempersiapkan pembentukan MRP Papua Barat. Termasuk meminta agar mengalokasikan anggaran pemilihan MRP dan biaya anggaran belanja MRP pada APBD Provinsi Papua Barat tahun 2011.  
Surat Keputusan Mendagri Nomor 161-223 Tahun 2011 tentang pengesahan pengangkatan MRP  Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masa jabatan tahun 2011-2016. Surat  yang ditandatangani Mendagri Gamawan Fauzi tertanggal 31 Maret 2011 itu memutuskan, pertama  mengesahakan dan menganggat anggota MRP Provinsi Papua masa jabatan 2011-2016. Kedua mengesahkan pengangkatan anggota MRP Provinsi Papua Barat masa jabatan periode 2011-2016.

MRP Cukub Satu Untuk Perjuangkan Budaya Asli Papua
Sementara itu, Salah satu tokoh Budaya Pegunungan Tengah, Matius Kiwo menyebutkan MRP merupakan lembaga cultural adat masyarakat asli Papua, kehadiran jelas untuk mengangkat masyarakat adat dengan segala persoalan kulturnya agar masyarakat adat Papua tetap eksis. Keberadaan MRP Papua Barat yang dibentuk dan unsure pimpinannya sudah dilantik 15 Juni lalu  dinilai sebagai MRP yang hanya akan menimbulkan perpecahan diantara sesame anggotanya serta menimbulkan wacana baru dan telah keluar dari koridornya, selain bukan sebagai organisasi Politik MRP bukan lembaga yang mengambil keputusan Politik sehingga keberadaannya cukub satu saja di Papua, tidak perlu ada  dua MRP di Papua.
Hal itu diungkapkan Minggu( 19/6) saat bertandang ke Kantor Redaksi Bintang Papua Sore kemarin. Sebagai Tokoh budaya dirinya sependapat dengan Gubernur Papua Bas Suebu yang mengeluarkan statemen terkait keberadaan MRP di Papua Barat karena  dianggap akan memicu masalah baru sebab keberaan MRP  dua MRP  tak diatur dalam Undang undang No. 21 thn 2011 tentang Otsus Bagi  Papua. Dirinya mengingatkan anggota MRP bahwa lembaga cultural yang sedang diduduki kini bukan partai Politik, kalau semua  anggota dengan jalannya sendiri sendiri mau masuk di Politik, mau jadi apa lembaga Kultural orang Asli Papua ini, tuturnya dengan nada bertanya.
“ Sebagai seorang tokoh Budaya Pegunungan Tengah yang turut prihatin, ia menuturkan,  mestinya MRP lebih solid antara anggotanya untuk melindungi masyarakat asli Papua, menjalin kerjasama dengan Pemerintah untuk bagaimana mensejahterakan orang asli Papua”, itu yang terpenting saat ini, ungkapnya.
Dengan keberadaan MRP di Papua Barat sebagai Tokoh Budaya,kami tidak setuju ada MRP dua di Papua, nanti masalah tidak bisa habis, ucap Matius Kiwo.
Sisi lain dirinya menilai, bila melihat keberadaan MRP jilid pertama yang tak berhasil, dalam artian nyata memang MRP sbelumnya telah bekerja, namun hasilnya belum maksimal  contoh konkrit yang menerangkan hal itu adalah MRP  belum  berhasil melestarikan budaya asli Papua dari masyarakat pesisir maupun Pantai, nyatanya sekarang ini banyak dikalangan anak muda yang merupakan generasi Papua sudah tidak tahu budaya atau seni tertentu dari suatu budaya Papua, karena tidak ada upaya pelestarian  dan proteksi untuk melakukan perlindungan Budaya Asli  Seni Orang Papua. Saat ini jarang kita mendengarkan lagu lagu khas Papua asli yang dikemas dalam rekaman lagu Seni Budaya Papua.
Untuk itu, MRP  yang sekarang perlu lebih memperhatikan perlindungan  Seni Budaya Papua dan itu tugasnya MRP sekarang untuk memperjuangkannya.