Weynand: Rakyat Papua Sangat Tersinggung

JAYAPURA—Pelantikan unsur pimpinan Majelis Rakyat Papua Papua Barat  (MRP PB)  oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Atururi hari Rabu (15/6) mendapat reaksi dari Gubernur Provinsi Papua, DR (HC) Barnabas Suebu, SH dan kalangan DPR Papua. baik Gubernur maupun DPR Papua sangat tidak setuju dengan pelantikan MRP PB yang dinilai ilegal tersebut.  Menurut Suebu, pelantikan unsur pimpinan MRP Papua Barat tersebut  merupakan sebuah masalah baru, karena tidak diatur dalam UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. 

“Di dalam aturan UU MRP tidak ada pasal yang mengatur mengenai pembentukan MRP Papua Barat,” tandasnya  kepada wartawan di Gedung Negara, Kamis (16/6).  Menurutnya, MRP Papua Barat tidak seharusnya dibentuk. Pasalnya, sesuai aturan tidak ada yang namanya pembentukan dua MRP, jadi pembentukan MRP Papua Barat menjadi pertanyaan apakah sudah sesuai Undang-Undang Otsus atau belum.
“Jika hal ini dibiarkan, maka akan menimbulkan masalah baru sampai ke tingkat nasional bahkan sampai ke tingkat internasional,” urainya.
Untuk diketahui anggota MRP telah dilantik beberapa beberapa waktu lalu Pelantikan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Ataruri yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Pasalnya, pelantikan itu hanya didasarkan pada peraturan menteri yang kedudukannya jauh lebih rendah dari sebuah undang-undang sehingga itu  jelas menyalahi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua, sebab dalam Undang-Undang Otsus hanya menyebutkan satu MRP bukan dua MRP.
Sementara itu Ketua Pansus Otsus Ir Weynand Watori mengatakan, rakyat di seluruh Tanah Papua sangat tersinggung dengan sikap Gubernur Papua Barat Abraham Ataruri yang mewakili Mendagri Gamawan Fauzi melantik pimpinan MRP di Papua Barat pada Rabu (15/6). Pasalnya, sebelumnya yang bersangkutan nyata nyata melanggar perundang undangan  dan memaksakan pembentukan  Provinsi Papua Barat. Kini ia ingin membentuk dan melantik pimpinan MRP Papua Barat.
Dikatakan, jauh hari sebelum pembahasan pelantikan MRP yang melibatkan DPRP, DPR Papua Barat, Gubernur Papua serta Papua Barat seharusnya diusulkan agar MRP Papua Barat dibentuk tersendiri lepas dari MRP Papua. Tapi ironisnya, setelah disepakati pemilihan dan pelantikan MRP ternyata  muncul upaya- upaya dari oknum tertentu untuk membentuk  MRP Papua Barat. 
“Apabila  ingin mengubah kesepakatan itu ya kita mesti duduk semua, tak bisa Gubernur Bram merasa dia sebagai simbol keterwakilan orang Papua. Dari mana dia dapat simbol itu,” tandasnya ketika dihubungi Bintang Papua di Jayapura, Kamis (16/6).
Menurut dia, pihaknya menilai pembentukan dan pelantikan MRP Papua Barat secara ilegal adalah perbuatan yang sangat memalukan. Padahal, Gubernur Papua  DR (HC) Barnabas Suebu SH  sebelumnya mengatakan, apabila ada keinginan kuat untuk membentuk dua MRP, maka  dibuat referendum sesuai UU Nomor 5 Tahun 1985 untuk meminta orang asli Papua menentukan MRP  hanya satu atau dua MRP.
Karena itu, urainya, DPRP secara tegas menolak pembentukan dan pelantikan MRP Papua Barat serta mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan semua problem yang ada. Pasalnya, hal ini  menjadi persoalan besar yang akan menyebabkan situasi politik di Papua menjadi tak kondusif.
Terpisah, Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR Papua Albert Bolang SH MH menandaskan pembentukan MRP Papua Barat menjadi dilema hukum. Bahwanya, ketika berbicara soal etika menjalankan sistim pemerintahan Otonomi Khusus sekali tak dihormati maka hal ini akan berkonsekuensi pada pemangku kepentingan  dalam hal ini rakyat yang ada di Papua.
“Kami juga belum mendapatkan pemberitahuan tentang pelantikan MRP Papua Barat,” tukasnya.
Dia mengatakan, pihaknya mempertanyakan pembentukan MRP Papua Barat karena sesuai SK Kemendagri menetapkan 75 anggota MRP. Kini akan menjadi persoalan kemudian misalnya Perdasus atau pengajuan Calon Gubernur apakah cukup dengan 45  anggota MRP yang ada kemudian  dikurangi MRP yang ada di Papua Barat. Cukup dengan itu ataukah harus mendapat persetujuan 75 anggota MRP.
Karena itu, tambahnya, pembentukan MRP Papua Barat ini  perlu disikapi secara legal dan bukan ilegal karena provinsi induk sampai saat ini belum mendapatkan pemberitahuan resmi baik kepada DPRP maupun Gubernur. Apabila sudah dilakukan pelantikan MRP Papua Barat, maka hal ini  tak akan seiring dan seirama sesuai UU Otsus No 21 Tahun 2001 karena anggota MRP yang sah adalah 75 orang. Kalau diajukan dan ternyata diplenokan oleh hanya setengah anggota MRP. Ini juga menjadi dilema hukum sehingga pihaknya menyikapi kekhususan Papua ini jangan serta merta menjalankan sistim pemerintahan dengan tanpa berlandaskan hukum serta meninggalkan etika dan kode-kode etik terkait dengan menuju pada pemerintahan yang baik kedepan.
Ditanya apakah perlu dilakukan peninjauan ulang pasca pelantikan MPR Papua Barat, katanya, silahkan MRP dan pemerintahan induk menyikapinya.  Pasalnya, Gubernur adalah kepala pemerintahan di Papua. Apabila  pemerintahannya  mengalami kepincangan seperti ini lalu kemudian didiamkan oleh Gubernur ini juga patut diperhatikan lebih jauh karena ada kepincangan hukum dan kepincangan pemerintahan.
Dia mengatakan, jangan sampai pemekaran atau mendorong secepatnya pembentukan MRP hanya untuk melegitimasi kekuatan politik yang ada di Papua Barat menuju Pilgub. Jangan sampai mulai mengkotak-kotak atau ada kepentingan politik untuk mendorong keberadaan MRP mempertimbangkan Gubernur Papua Barat.
“Jangan sampai itu yang menjadi kepentingan-kepentingan indifidual, bukan kepentingan politik atau kepentingan kelompok yang akan menuju pada pesta politik kedepan. Yah ini juga menjadi kemungkinan-kemungkinan kenapa itu didorong secepatnya tanpa melalui etika-etika pemerintahan yang baik,” tuturnya.