Pastor John Jonga: Sekarang MRP Jadi Alat Pemecah Belah

JAYAPURA – Pro dan kontra soal lahirnya Majelis Rakyat Papua Barat (MRP PB) masih berlanjut dan diperkirakan akan terus berkepanjangan. Bahkan dengan adanya dualisme MRP tersebut diklaim menjadi ancaman bagi eksistensi orang asli Papua. Hal itu terungkap dalam seminar sehari yang dilegar Badan Eksekutif Mahasiswa, Rabu (22/6), kemarin.   Seperti diketahui,  menyikapi pecahnya institusi MRP (Majelis Rakyat Papua) setelah MRP Papua Barat dilantik oleh Gubernur Papua Barat atas nama Menteri Dalam Negeri, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Uncen, Rabu (22/6) menggelar seminar sehari, dengan mengambil thema ‘Dampak dualisme MRP bagi eksistensi Orang Asli Papua di atas Tanahnya Sendiri’.   Seminar yang digelar di Auditorium Uncen dan diikuti oleh sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan yang didominasi para mahasiswa tersebut, menghadirkan dua orang pemateri, yaitu dari Dewan Adat Papua Fadhal Alhamid  dan Pastor Jong Jonga selaku tokoh agama.  Dengan dimoderatori Laus Rumayom.
Fadhal Alhamid mengatakan bahwa yang bahaya terkait dualisme MRP di Tanah Papua adalah, standar hak dasar orang Papua di Papua Barat dengan di Papua akan berbeda. Selain itu, menurutnya bahwa pembentukan MRP di Papua Barat, penuh dengan kepentingan, terkait konspirasi politik pemilihan Gubernur dan Wagub di Papua Barat. “MRP pernah membuat satu kesepakatan terkait satu kesatuan kultural dan ekonomi. Namun jika ada dua MRP, maka satu kesatuan kultural dan ekonomi tersebut terancam hilang,” ungkapnya saat memberikan materi secara lisan.  

Dan terkait dualisme MRP tersebut, menurutnya harus dimintakan pertanggungjawaban kepada MRP. “Betulkah MRP Papua Barat yang bentuk mereka,” itu perlu dipertanyakan.
Setelah dualisme MRP tersebut, diungkapkan bahwa telah terjadi kekacauan posisi jabatan pimpinan antara MRP di Papua dan MRP di Papua Barat. “Posisi Ketua MRP, Ibu Dorkas yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua di MRP Papua Barat. Tentunya ini sangat membingungkan,” katanya.
Sedangkan Pastor John Jonga lebih memaparkan  tentang pengalamannya mendalami permasalahan jemaatnya di wilayah Keerom. “Otsus sama sekali tidak memberi perlindungan, kenyamanan dan keamanan bagi orang asli Papua. Menurut saya, secara defacto Otsus gagal, karena hanya dinikmati masyarakat yang tinggal di sekitar daerah dimana ibukota Kabupaten,” ungkapnya.
Padahal di daerah tersebut, menurutnya  prosentase orang asli Papua sangat kecil dibandingkan dengan masyarakat migran (pendatang). “Sedangkan keberadaan MRP yang diharapkan menjadi alat pemersatu, sekarang menjadi alat pemecah belah orang asli Papua,” ungkapnya.
dalam kesempatan tanya jawab, sejumlah mahasiswa yang maju lebih menyoroti masalah penolakan Otsus.
“MRP adalah salah satu lembaga yang hadir karena Otsus. Dan Otsus lahir ini hanya memperpanjang penderitaan orang asli Papua. Otsus adalah kepanjagan tangan Pemerintah Pusat. Sehingga harus segera digelar sidang paripurna DPRP untuk menggagalkan pembentukan MRP Papua Barat,” tegas salah satu mahasiswa bernama Yulian Goby.
Ungkapan senada diungkapkan mahasiswa lain yang diberi kesempatan mengajukan pertanyaan kepada pemateri.