JAYAPURA-Merasa disudutkan  dengan pemberitaan  Bintang Papua edisi  18 Juni 2011, pada halaman depan yang berjudul. “Para Pekerja HAM Resah,”  membuat pimpinan Kodam XVII/Cenderawasih memberikan Hak Jawab dan Hak Koreksi.  Hak Jawab dan koreksi ini sekaligus meluruskan pemberitaan sebelumnya yang sudah beredar luas di publik tersebut.

Dalam surat tertulisnya yang di sampaikan ke Redaksi Harian Bintang Papua dan di tanda tangani oleh Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Erfi Triassunu Rabu (29/6) kemarin menggunakan hak koreksi dan hak jawabnya terkait pemberitaan Bintang Papua. Menurutnya pada penerbitan Harian Bintang Papua edisi 18 Juni 2011 dengan judul Para Pekerja HAM Resah, halaman 1 yang bersambung ke halaman 15 pada paragraph 1 (satu) – paragraph 4 (empat) tertulis, “Adanya berbagai tindak kekerasan maupun teror terhadap para pekerja HAM (Hak Asasi Manusia) termasuk pekerja jurnalisme, dan terakhir dialami Wartawan Harian Bintang Papua di Serui, mengundang keprihatinan dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun organisasi keagamaan. Menyikapi hal itu, sejumlah LSM dan organisasi keagamaan yang tergabung dalam Koalisi Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, antara lain, Perwakilan Komnas HAM Papua, Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Sinode Gereja Baptis di Tanah Papua, Foker LSM Papua, Kontras Papua, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Papua dan BUK (Bersatu Untuk Keadilan), Jumat (17/6) menggelar siaran pers. Dalam siaran pers yang digelar di sekretariat Kontras Papua, tampak cenderung menyudutkan institusi TNI. Dengan mengungkapkan sejumlah tindak kekerasan yang menurutnya nyata-nyata dilakukan oleh oknum TNI....”.
Penggunaan rangkaian kalimat diatas menurut Kodam XVII/Cenderawasih yang terbagi dalam 4 paragraf pada halaman 1 dan 15, jelas-jelas menimbulkan penafsiran pada publik pembaca bahwa TNI telah melakukan tindak kekerasan, teror kepada pekerja HAM dan jurnalis, termasuk teror kepada wartawan Bintang Papua di Serui.
Padahal untuk pada satu kesimpulan seperti dalam pernyataan kalimat tersebut perlu dibuktikan secara yudiris, melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan vonis dengan kekuatan hukum yang tetap.
Apabila Perwakilan Komnas HAM Papua, Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Sinode Gereja Baptis di Tanah Papua, Foker LSM Papua, Kontras Papua, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Papua dan BUK (Bersatu Untuk Keadilan) memiliki data mengenai kasus tindak kekerasan dan teror yang diduga dilakukan oleh oknum TNI, kepada pekerja HAM, pekerja jurnalisme seharusnya melaporkan kasus tersebut kepada aparat yang berwenang dalam hal ini Pomdam XVII/Cenderawasih guna diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sehingga opini  publik tidak terbentuk dengan pemaparan permasalahan tanpa data yang benar dan objektif. Dan kepada Pimpinan Redaksi Harian Bintang Papua, seharusnya lebih objektif dan berimbang dalam menerbitkan berita dengan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak Kodam XVII/Cenderawasih.
Pada sambungan berita tersebut di halaman 15 paragraph 5 juga terdapat kalimat “Hingga pertengahan Juni ini, setidaknya terjadi lima kasus kekerasan yang memperlihatkan sikap arogansi dan tindakan sewenang-wenangan oknum TNI” kata Koordinator Kontras Papua, Olga Hamadi.
Makna pemberitaan Bintang Papua tersebut sangat tendensius dan menyudutkan TNI dalam hal ini Kodam XVII/Cenderawasih selaku penanggung jawab Komando kewilayahan di Provinsi Papua dan Papua Barat, sehingga perlu disampaikan Hak Jawab dan Hak Koreksi terhadap pemberitaan tersebut sesuai ketentuan Pasal 5 Ayat (2) dan Ayat (3) UU RI Nomor 40 Tahun 1999.
Pernyataan Koordinator Kontras Papua, Olga Hamadi tersebut sungguh tidak tepat karena pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aparat TNI benar-benar telah melakukan lima tindak kekerasan, padahal untuk pada satu kesimpulan seperti dalam pernyataan kalimat tersebut perlu dibuktikan secara yuridis, melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan vonis dengan kekuatan hukum yang tetap.
Apabila Perwakilan Komnas HAM Papua, Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Sinode Gereja Baptis di Tanah Papua, Foker LSM Papua, Kontras Papua, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Papua dan BUK (Bersatu Untuk Keadilan) memiliki data mengenai lima kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum TNI, seharusnya melaporkan kasus tersebut kepada aparat yang berwenang dalam hal ini Pomdam XVII/Cenderawasih guna diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga opini  publik tidak terbentuk dengan pemaparan permasalahan tanpa data yang benar dan objektif.
Adanya ancaman dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI, permintaan untuk menindak secara tegas melalui proses hukum dan administrasi terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh aparat TNI di lapangan, kita setujui dan sudah kita lakukan karena telah menjadi kebijaksanaan dari TNI.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah ancaman dan tindak kekerasan manakah yang belum diproses secara hukum oleh TNI. Karena dalam kurun waktu satu tahun terakhir TNI telah memproses semua dugaan pelanggaran HAM (yang sebenarnya hanya merupakan tindak pidana biasa) melalui proses peradilan yang fair dan terbuka untuk umum.
Berkaitan dengan pernyataan sikap koalisi pembela HAM di Tanah Papua pada butir ke-4 yang antara lain menyatakan “melakukan pembinaan secara intensif kepada seluruh prajurit TNI baik yang bersifat moral maupun pemahaman tentang HAM.....”, sesungguhnya TNI (Kodam XVII/Cenderawasih) telah melakukan pembinaan bahkan pendidikan mengenai HAM terhadap seluruh prajurit. Adapun bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain:
(1). Memasukkan materi hukum dan HAM dalam setiap jenjang pendidikan prajurit mulai dari pendidikan pembentukan sampai dengan pendidikan lanjutan, (2).  Memberikan penyuluhan/pembekalan hukum dan HAM kepada seluruh prajurit secara periodik, (3). Melengkapi seluruh prajurit TNI dengan buku saku yang berkaitan dengan hukum dan HAM, (4). Memberikan pelatihan hukum dan HAM kepada seluruh prajurit yang akan melaksanakan tugas-tugas operasi.
Menurut Kodam XVII/Cenderawasih pemberitaan Bintang Papua tersebut telah menyudutkan institusi Kodam XVII/Cenderawasih, sehingga muncul opini publik bahwa Kodam XVII/Cenderawasih berada di balik semua peristiwa kekerasan dan teror terhadap penggiat HAM, jurnalis, maupun masyarakat, serta Bintang Papua telah mengabaikan prinsip independensitas pemberitaan, mengabaikan asas praduga tidak bersalah, dan tidak melakukan cover both sides.
Bahwa hal-hal yang disampaikan oleh pihak Perwakilan Komnas HAM Papua, Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Sinode Gereja Baptis di Tanah Papua, Foker LSM Papua, Kontras Papua, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Papua dan BUK (Bersatu Untuk Keadilan), dalam acara jumpa pers tersebut tidak pernah disampaikan kepada pihak Kodam XVII/Cenderawasih untuk dimintakan klarifikasi dan pemprosesan hukumnya, serta tidak konkret apa yang dimaksud dengan sampai dengan Juni 2011 terdapat setidaknya lima kasus kekerasan.
Bahwa Kodam XVII/Cenderawasih dalam menyikapi setiap pelanggaran prajurit yang terkait dengan dugaan kekerasan terhadap masyarakat, selalu melakukan tindakan cepat untuk memproses secara hukum dan proses peradilannya dilakukan secara terbuka, juga telah diketahui oleh pihak Komnas HAM perwakilan Papua yang selama ini Kodam XVII/Cenderawasih telah melakukan koordinasi dengan terbuka, jujur dan tetap konsisten untuk menghormati dan melaksanakan penegakan HAM.
Kepada pihak Bintang Papua, agar segera melakukan pemberitaan ulang yang memenuhi prinsip independensitas (tidak berpihak kepada kelompok tertentu) dan tidak membuat pemberitaan yang menyudutkan institusi Kodam XVII/Cenderawasih serta menghormati asas praduga tak bersalah.
Pihak Kodam XVII/Cenderawasih bersikap selalu terbuka dan responsif untuk menerima berbagai pengaduan dan permintaan untuk memproses secara hukum kemungkinan adanya kasus-kasus dugaan kekerasan yang mungkin dilakukan oleh oknum prajurit Kodam XVII/Cenderawasih.
Berkaitan dengan pemberitaan tersebut, agar Pimpinan Redaksi Harian Bintang Papua memuat dan melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi pada penerbitan Harian Bintang Papua paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat hak jawab dan hak koreksi ini, pada halaman 1, guna meluruskan pemberitaan yang sudah tersebar agar lebih faktual dan proposional.