Yang Terhormat Bapa Jenderal Priono,

Pendapat Bapak tentang Referandum Nasional Indonesia atas Papau (maksudnya Papua Barat-West Papua sesuai Konstitusi Papua Barat) dengan opsi: 1).Papua tetap dalam NKRI dan 2) Papua Dimekarkan menjadi Negara Sendiri adalah pikiran yang menarik dan sungguh brilian. Lebih menarik lagi dikatakan kalau itu harus dipilih/ditentukan oleh seluruh Rakyat Indonesia . Ini sungguh hebat, karena kalau hal itu yang diterapkan maka menjadi masyhurlah NKRI di mata dunia sebagai yang telah melakukan demokrasi terbalik yang sungguh-sungguh keliru alias aneh.

Sepertinya hal itu tidak mungkin terlaksana menurut nalar demokrasi karena sungguh-sungguh telah melanggar Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948 tentang Hak Azasi Manusia dan sekaligus pula mencemari nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia yang sungguh dihormati sebagaimana termuat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan kami yakin pula bahwa Bapak Jenderal tidak sungguh-sungguh bermaksud seperti itu. Ada pasti ..if..(kalau)....nya karena terkandung maksud memang ada.

Dunia menghormati semua proses Reformasi yang berlangsung di Indonesia antara lain Indonesia telah bisa dan sanggup meratifikasi berbagai Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Sipil sebagai bagian terkait dalam peradaban dunia terutama dalam hal ini UU-RI Nomor 11 Tahun 2005 dan UU-RI Nomor 12 Tahun 2005.

Berbekal dua UU-RI itu dan dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 terutama Alianea Pertama pada Mukadimah, sesungguhnya telah kuat data Bangsa Indonesia sendiri dengan tentu menyertakan Wakil-Wakil Papua sebagai Warganegara di masa Reformasi ini untuk mengajukan uji-materi atas UU-RI Nomor 12 Tahun 1969 tentang Propinsi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten di Propinsi Irian Barat ke Mahkamah Konstitusi sebagai supermasi Demokrasi Konstitusi di Indonesia.

Sebagaimana diketahui UU-RI Nomor 12 Tahun 1969 didasarkan atas Trikora dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Menurut Orang Papua yang terus ngotot menuntut, Trikora adalah Invasi Asing dan Pepera adalah proses aneksasi. Proses Demokrasi itu cacat hukum, penuh penindasan dan melanggar kesepakatan dan ketentuan dalam New York Agreement tahun 1962 karena itu tidak sangat demokratis. Maka apa yang dimaksudkan Bapak Jenderal yang terhormat tentang keterlibatan seluruh Rakyat (Warga Negara) Indonesia dalam apa yang disebut Referandum Nasional itu sudah ada di sana . Tidak perlu lagi mobilisasi dan hiruk pikuk menghimpun dan menggerakan sarana dan prasarana karena sarana hukumnya sudah jelas dan baku yaitu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia . Kita ingat juga biaya mahal apalagi uang bangsa yang telah mengalir deras ke kocek segelincir anak bangsa alias dikorupsi.  

Adalah lebih arif dan bijaksana serta murah biaya bagi kita mengajukan hal ini ke Mahkamah Konstitusi kita. Rakyat Papua sebagai warga negara Indonesia sementara ini patut patuh dan menghargai hasil ini. Kalau kita tidak puas dengan hasil Mahkamah Konstitusi yang menilai NKRI tidak di pihak yang benar ataupun merugikan Orang Papua yang terus ngotot dan menuntut masih bisa banding ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) di Den Haag. Kita akan ketemu dengan Solusi London 2 Agustus 2011 di sana? Apa yang diusulkan ini mungkin aneh, tetapi lebih aneh lagi kalau melibatkan Warga Negara Indonesia yang di dalamnya ada Rakyat Bangsa Indonesia dan Rakyat Bangsa Papua di Negeri Papua Barat dalam kemelut tak berkesudahan.

Bapak Jenderal, kita terbeban masalah-masalah kebangsaan yang cukup rumit dan ini berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan warga kita sehingga tetap berada di bawah garis kemiskinan dilanda intepretasi hukum dan demokrasi yang keliru oleh para terpelajarnya. Mari kita selesaikan Papua Barat ke status semula a tanggal 1 Desember 1961 sebagai wilayah dan bangsa tak berpemrintahan menuju proses Dekolonisasi. Di sinilah peran NKRI dengan menggunakan istilah Pemekaran Negara Papua Barat dari NKRI. Inilah keberhasilan itu, Inilah mata dunia akan terkagum-kagum.

Selain menyelesaikan Papua sebagaimana diutarakan di atas, kita juga berbenah kembali dengan tetangga-tetangga dekat kita dalam hal ini Eks-Negara Boneka Malaysia (Malaysia, Singapore, Brunai Darusalam) juga dengan tetangga kita Timor Leste yaitu adanya Dekrit Presiden RI mencabut kembali Trikora-Papua, Dwikora-Malaysia dan Operasi Seroja-Timor Leste. Kita jadi Uni yang kuat di antara Samudera India dan Pacific. Besar dan Luar Biasa.  

Menegaskan kembali akan pemikiran ini berikut ini Surat Kepemimpinan Nasional Papua kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 1 Desember 2009.

 

 

Kepada

Yang Mulia Dr. Susilo Bambang Yudoyono

Presiden Republik Indonesia

di – Jakarta.

Perihal: Tindakan Reposisi Bagi Perubahan Indonesia.

(setelah dua serial Pertemuan dengan BIN di Jakarta)

 

Dengan hormat,

Kami yang bertandatangan di bawah ini Konsensus Nasional Papua, atas nama Rakyat Bangsa Papua menyatakan bahwa setelah mengikuti proses perkembangan demokrasi di Indonesia diawali oleh Reformasi di tahun 1998 telah menumbangkan ditaktor militer orde baru dengan pola Dwifungsi ABRI yang menghasilkan demokrasi palsu, pelanggaran HAM berat, militeristik, KKN selama 32 tahun. Melalui diskusi, pembahasan, rapat, pertemuan internal Rakyat Bangsa Papua tentang Reformasi Indonesia dan dinamikanya selama 10 tahun, perkenankanlah kami menyampaikan pandangan, penilaian istimewa tuntutan politik radiks kepada Presiden Republik Indonesia sekitar hal-hal pokok utama dan pengaruhnya kepada OTSUS di Papua.

Penilaian, tuntutan serta tindakan politik yang perlu mendapat perhatian Presiden Republik Indonesia untuk segera dilakukan koreksi dan penyempurnaan fundamental adalah sebagai berikut:

1.       Reformasi di Indonesia hanya baru pada menurunkan Presiden Soeharto, personal belum meniadakan nilai dan sistim rezim ORBA, itu masih tetap berlaku secara filosofis teristimewa empiris.

2.       Personil, institusi dan birokrasi sipil maupun militer, teristimewa legislatif masih belum bergeser meninggalkan doktrin dan sistim lama sekalipun jargonnya menyebutkan reformasi birokrasi, institusi dan nilai.

3.       UU dan Peraturan Pemerintah masih banyak yang sentralistik, baru beberapa yang desentralistik, tetapi ada pasal-pasal karet konstruksi multitafsir yaitu kata putus akhir selalu oleh Pemerintah Pusat. Akhir-akhir ini sudah mulai ada kecenderungan kuat untuk sentralisasi kembali dalam arti bertentangan dengan semangat dan filosofi reformasi oleh kaum feodalis-borjuis-militer-ilmuan yang berdomisili di Jakarta.

4.       Desentralisasi otonomi yang ada masih bersifat ide karena dalam pelaksanaan masih terselubung praktek sentralisasi disebabkan UU Pusat yang diacuh masih banyak yang produk sentralistik Orde Lama maupun Orde Baru atau kalaupun ada UU Pusat baru, spirit dan rohnya masih sangat sentralistik berakibat terjadi stagnasi dalam penyelenggaraan pemerintahan otonom spesifik Peraturan Daerah (contoh: Perdasi, Perdasus untuk Papua).

5.       Mentalitas teristimewa pengetahuan politisi, parpol, birokrat, lembaga pendidikan dan cendikiawan Indonesia belum banyak berubah karena tidak terdidik bagi perubahan sehingga tidak dewasa, sebagai akibat dan hasil dari 32 tahun indoktrinasi yang membentuk pola berpikir dan pola berbicara istimewa pola bertindak yang masih sentralistik.

6.       Militer Indonesia secara khusus Angkatan Darat belum berubah karena masih tetap menganut doktrin teritorial yang membayang-bayangi pemerintah sipil, sedangkan realita Indonesia adalah negara kepulauan sehingga tetap tercipta kontradiksi dengan kenyataan geografis maupun geopolitik dalam hal ini sesungguhnya Angkatan Laut yang dikedepankan dalam sistem pertahanan. Sementara itu Polisi Republik Indonesia belum banyak banyak bergeser dari pola ABRI Orde Baru menjadi aparat sipil.

7.       Menurut pandangan dan pengalaman dari penderitaan pahit Rakyat Bangsa Papua dalam NKRI, sepanjang hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas itulah penyebab utama mandeknya Otonomi di Indonesia terutama dalam hal ini Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU-RI No. 21 Tahun 2001). Pandangan dan pernilaian kami tentunya tidak subyektif karena memang senada dengan kenyataan yang dikemukakan Ketua Asosiasi Gubernur se-Indonesia, Sutiyoso bersama Fadel Muhammad bahwa: ”Otonomi Indonesia masih setengah hati, lepas kepala pegang ekor”, maka yang mutlak dilakukan adalah memberikan kepercayaan penuh suatu pelimpahan kewenangan kepada provinsi otonom mengurus semua hal tanpa intervensi langsung maupun tidak langsung teristimewa melakukan tindakan distorsi sistim dan nilai dengan sengaja oleh Pusat; demikian juga yang akan diperjuangkan oleh Gusman Ketua DPD bahwa Pemerintah Pusat hanya urus dua hal yaitu Keuangan dan Politik Luar Negeri, selebihnya dilimpahkan kepada Provinsi Otonom serta Departemen yang tidak perlu dihapuskan. Khusus terhadap Papua yang memiliki sejarah politik internasional berbeda dengan bagian (provinsi) lainnya di Indonesia, kami menuntut atas nama demokrasi, hukum dan HAM serta keadilan mutlak bagi Presiden Republik Indonesia untuk mengambil langkah serta tindakan politik nyata sesegera mungkin terhadap hal berikut:

a.       Mencabut semua UU dan Peraturan Pemerintah (Pusat) yang sengaja ataupun tidak sengaja menstigmasi kata “makar” dan “separatis” yang selama ini memasung secara sengaja dan berencana hak demokrasi terutama HAM menurut konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah diratifikasi Pemerintah Negara Republik Indonesia.

b.       Mencabut semua terminologi maupun jargon politik di Indonesia tentang kata kerja ataupun kata benda Separatis, Makar dan GPK dalam semua pernyataan pemerintah khusus militer dan intelelijen yang merupakan dasar bagi militer dan kepolisian (ABRI) melakukan operasi militer sebagai proyek terbuka maupun tertutup serta kepentingan ekonomi-finansial lain didalamnya. Terminologi seperti itu bersifat rasialis, diskriminatif dan anti HAM serta etnic cleansing terutama anti Panca Sila dan Pembukaan UUD’45..

c.       Mencabut dan membatalkan segera PERPU Nomor 77, Tahun 2007 yang berkarakter militersitik rezim Orde Baru sangat kental security approach absolut merupakan suatu pelanggaran hukum, demokrasi dan HAM teristimewa Hak-Hak Bangsa Pribumi menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak memperoleh right of selfdetermination yang memang telah diakui dan diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia.

d.       Merubah dan mendesign baru filosofi, nilai, sistim, metode, cara tindak dan kerja institusi-personil intelijen Indonesia dengan melepaskan inteligen milliter approach Orde Baru yang militeristik diganti Civil Inteligen Approach menggunakan metode ilmiah dan pendekatan hukum, hal mana melalui approach-dialog dan demokrasi. Perubahan itu wajib signifikan antara pernyataan dan tindakan bukan sekedar simbolis kamuflase belaka terutama dengan meniadakan karakter-citra badan intelijen ala Nazi dan Nippon yang ada di seluruh negeri Indonesia.

e.       Menyetujui dan mendesak untuk dicabut terminologi ”NKRI harga mati supaya diganti dengan NRI harga hidup” karena di sana ada demokrasi, penghargaan terhadap HAM serta kebebasan mengeluarkan pendapat serta pilihan politik secara bebas tanpa rasa takut di bawah ancaman militer-inteligen.

f.        Menyetujui dan mendesak untuk dicabut segera UU Perintah Perang “Trikomando Rakyat” tanggal 19 Desember 1961 guna merebut, invasi, aneksasi Tanah Papua serta membubarkan Negara Boneka Papua demi menghilangkan pemahaman bahwa Indonesia hingga sekarang menduduki Negara dan Bangsa Papua yang distigma sebagai Negara Boneka Papua buatan Belanda sebagaimana juga Negara Boneka Malaysia buatan Inggris melalui Dwikora yang terus memicu kebencian Bangsa Malaysia terhadap Bangsa Indonesia, juga Komando Seroja merebut Timor Timur menyebabkan RI adalah kolonialis-imperialis setelah Timor Leste berdaulat. Rakyat Bangsa Papua minta segera kembalikan Negara Kami yang bukan boneka, karena Papua tidak pernah melakukan agresi teritorial. 

Sehubungan dengan itu kami mendukung penuh pernyataan Presiden Republik Indonesia tertanggal 31 Agustus 2009 bahwa: ”Bentuk Demokrasi dan UUD 45 bukan kitab suci sehingga bisa diubah”, maka kami mendesak untuk segera dilakukan perubahan bentuk negara serta sistim pemerintahan dalam 3 pilihan utama yaitu:

(1). Federal, karena sesuai fakta budaya, geografis, ras dan sejarah politik 27/12/1949;

(2). One Nation Two System sehingga NAD tidak lepas dari NRI berdasarkan MoU Helsinki,;

(3). Confederation In Temporary bagi Papua di Indonesia sesuai pelanggaran New York Agreement 1962, kembali ke status 1 s/d 18 Desember 1961.

Hal utama adalah revisi/amandemen UUD45 yang masih sentralistik secara filosofis menjadi UUD Federal Indonesia melalui Dekrit Ampres Presiden Republik Indonesia sebagai sebuah langkah strategis tindakan politik penyelamatan negara menjadi suatu kebutuhan segera sebelum terlambat.

Kami mendukung dan mendesak terwujudnya Pernyataan Presiden Republik Indonesia dalam melakukan 3 pilihan tersebutkan di atas bukan lagi untuk didiskusikan dan diperdebatkan apalagi diseminarkan tetapi mendesak penting adalah pilihan bagi penetapan segera. Untuk itu kami yakin Yang Mulia Presiden Republik Indonesia pasti berani secara sadar terukur melakukan itu semua demi Indonesia yang menuju perubahan dan jaya.

Atas kesungguhan Presiden Republik Indonesia mengambil langkah bijak ini kiranya menjadi pengabdian mulia bagi Indonesia; Tuhan memberkati Yang Mulia Presiden Republik Indonesia.

Jakarta-Port Numbay, 1 Desember 2009.

Atas Nama Rakyat Bangsa Papua,

Konsensus Nasional Papua,

Tembusan Kepada:

1.      Yang Mulia Ketua MPR-RI.

2.      Yang Mulia Ketua DPR-RI.

3.      Yang Mulia Ketua DPD-RI.

4.      Pihak-Pihak Kepentingan Lain Yang Berkenaan.

 

Sekali lagi, Bapak Jenderal yang terhormat, jangan biarkan masalah kita diurusi kalau kita bisa dan mampu melaksanakannya dengan baik dan benar. Persaudaraan Indonesia-Papua bisa langgeng dan berwibawa, jangan dibiarkan tercabik dan terus ternoda. Selama hampir 50 tahun kemesraan ini, jangan biarkan dia berlalu hampa. Papua Barat menjadi Negara adalah akan sungguh indah dan berwibawa kalau adalah sebagai Hasil Pemekaran Negara NKRI.

Begitu Bapak Jenderal, kiranya Tuhan memberkati Bangsa Indonesia dan Bangsa Papua di Negeri Papua Barat.

Bulan Agustus 2011 Yang Hebat,

Syalom.

Kepemimpinan Nasional Papua.