Dubes : Tidak Ada KTT, Hanya Seminar yang Terkesan Tertutup di Negara Sebebas Inggris

Jayapura – Salah satu “keberhasilan” yang dicapai oleh Konferensi International Lawyer for West Papua (ILWP) yang digelar di Oxford, Inggris, pada tanggal 2 Agustus 2011 lalu adalah berhasil menyebarluaskan keresahan dan memprovokasi masyarakat di Papua Hal tersebut disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris Yuri Thamrin dalam releasenya yang di kirimkan ke Redaksi Bintang Papua semalam.  Menurut mereka seminar tersebut ditengarai hanya untuk media provokasi ke dalam negeri di Papua dengan tujuan mengusung agenda pemisahan kedua Propinsi di Papua dari Indonesia ketimbang diskusi ilmiah yang terbuka. “Ada kesan juga mereka membesar – besarkan acara yang bertajuk “West Papua : the Road to Freedom” tersebut dengan istilah yang di gembar – gemborkan di Papua adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) , tidak ada KTT yang ada seminar biasa saja, bahkan terkesan tertutup untuk sebuah seminar di negara bebas seperti Inggrs ini”, kata Dubes RI Yuri Thamrin melalui release yang di kirimkan KBRI. Ia juga menegaskan bahwa di Inggris saja istilah yang digunakan hanya “Konferensi” tidak pakai Tingkat Tinggi, karena penggunaan istilah KTT itu sengaja disebar luaskan ke Papua untuk mencitrakan bahwa ada pejabat negara atau tokoh internasional yang hadir atau merupakan upaya propaganda dan memberi bobot pada kegiatan tersebut guna mencari dukungan terselenggaranya acara dimaksud.  “Kalau ditanya mengenai kesuksesan konferensi tersebut, ya.. penyelenggaraan konferensi tersebut bisa disebut telah sukses menyebarkan keresahan dan kegentingan bagi masyarakat umum di Provinsi Papua, beruntung masyarakat Papua tidak terpancing dengan provokasi tersebut walaupun sangat disesalkan telah ada korban empat orang meninggal akibat penembakan di Nafri, Papua dan penusukan mahasiswa yang agaknya terkait dengan upaya provokasi tersebut”, katanya mengaku memantau perkembangan di Papua lewat situs berita online media lokal Papua salah satunya Bintang Papua.

Herry Sudradjat Kepala Fungsi Penerangan KBRI London menjelaskan bahwa KBRI London memilih untuk tidak hadir pada konferensi tersebut, selain memang diselenggarakan secara tertutup, para pembicara yang diundang pada konferensi tersebut sudah sangat jelas dipilih secara selektif guna mengusung agenda separatisme di Papua ketimbang perdamaian dan kesejahteraan di Papua, sementara tokoh-tokoh di Papua yang mempunyai pandangan yang berbeda tidak di undang untuk berbicara di forum tersebut. 
“Dalam sebuah forum diskusi ilmiah, tentunya perbedaan pandangan dan dialog merupakan suatu hal yang biasa. Namun penyelenggara forum ini sepertinya tidak terbiasa dengan diskursus ilmiah dan ingin menghindari pendapat yang berbeda dari agenda mereka”, katanya.
Dari laporan KBRI London penyelenggaraan konferensi yang diusung oleh kelompok Free West Papua Campaign (FWPC) tersebut telah menghadirkan pembicara-pembicara seperti John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku ‘autonomy of betrayal’, Benny Wenda  pemimpin FWPC, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu serta beberapa pembicara lainnya, termasuk juga Gubernur dari PNG di nyatakan akan hadir. Sementara dari Propinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.
Namun dari pantauan KBRI ternyata Menteri Kehakiman Vanuatu, Ralph Regenvaru dan Gubernur PNG tidak hadir dalam acara tersebut, sedangkan dua orang tokoh agama dari Papua yang di agendakan akan memberikan keterangan via teleconference juga khabarnya batal berbicara karena jaringan yang kurang bagus.
“laporan yang kami terima, penyelenggara mencoba menghubungkan dengan kedua tokoh dari Papua itu melalui Skype tetapi tampaknya salurannya kurang baik sehingga gagal video link, tapi sempat tersambung sekitar dua menit”, terang KBRI dalam releasenya.  
Namun Dr. Benny Giay yang di hubungi semalam mengaku sedang berada di Jakarta dan membantah bila menjadi pembicara dalam hajatan tersebut, sedangkan Sofyan Yoman tidak membantah atau membenarkan secara tegas namun secara diplomsi ia mengaku bahwa adalah hal yang biasa bila dirinya di minta untuk menjadi pembicara di tingkat internasional, dan andaikan ia berbicara itu adalah “suara rakyat” yang di sampaikan lewat dirinya selaku hamba Tuhan.
Menurut KBRI berdasarkan sumber salah seorang peserta yang hadir pada konferensi tersebut, konferensi yang diselenggarakan di gedung East School of the Examination Schools yang merupakan bagian dari Universitas Oxford hanya dihadiri oleh sekitar 70 orang peserta dari kapasistas gedung sekitar 200 orang.
Menurut sumber itu juga, para peserta yang hadir kebanyakan bukan mahasiswa, termasuk sekitar 15 orang Papua yang sebagian besar datang dari Belanda.  Para pembicara pada umumnya menyampaikan pendapat yang senada yaitu menggugat keabsahan penyelenggaraan Pepera yang dianggap tidak sah berdasarkan hukum internasional mengenai referendum.
Disinggung mengenai upaya – upaya persuasif apa saja yang sudah dilakukan KBRI terhadap kelompok Benny Wenda Cs yang masih berpetualang mencari dukungan untuk kemerdekaan Papua di Inggris, Dubes Yuri Thamrin menjelaskan bahwa selama ini phaknya sudah berupaya mengajak dalog Benny Wenda cs, namun kubu mereka yang lebih memilih jalur konfrontatif ketimbang dialog.
“KBRI sudah melakukan pendekatan dengan panitia penyelenggara konferensi untuk ada supaya ada pembicara Papua yang punya pandangan berbeda tetapi tampaknya mereka ingin mengendalikan jalannya konferensi kemarin untuk kepentingan mereka sendiri”, tandas Dubes via SMS kemarin.
Dubes juga menambahkan bahwa selama ini “gaya” Beny Wenda sendiri yang lebih memilih konfrontatif ketimbang dialog, karena dalam beberapa kali demonstrasi di depan KBRI, menurut Dubes pihak KBRI telah mengundang mereka untuk masuk ke dalam KBRI untuk berdialog, tetapi mereka lebih memilih berteriak – teriak orasi di tepi jalan.
Hal ini juga tercermin dalam sikapnya untuk selalu memanfaatkan event di Inggris untuk memprovokasi situasi di Papua, termasuk pada konferensi ini.
“Berbeda dengan para pendukung Papua merdeka di Australia, walaupun lebih banyak koferensi di Australia, tetapi tidak di manfaatkan untuk provokasi situasi di Papua”, jelasnya