Dari Peringatan Hari Pribumi Internasional

JAYAPURA – Wacana dialog untuk menyelesaikan konflik-konflik di Papua dengan melibatkan seluruh komponen yang digagas Jaringan Damai Papua (JDP),  rupanya sejalan dengan pemikiran Ketua Dewan Adat  Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut,S.Pd. 
Menurutnya, dialog merupakan sarana terbaik untuk mencari solusi yang tepat  penyelesaian konflik antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.

“Kami bertekad untuk mencari solusi  atas berbagai persoalan politik, keamanan, hukum dan HAM, Ekonomi dan lingkungan hidup serta sosial budaya di Tanah Papua melalui suatu Dialog antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia,  yang dimediasi pihak ketiga yang netral,” tandasnya.  Hal itu diungkapkan Forkorus dalam salah satu pidatonya
pada perayaan hari Pribumi Internasional yang dilakukan DAP di Kampung Sabron Yaru, Distrik Sentani Selatan. 
Dalam pidato Ketua DAP yang diterima Bintang Papua dari  Satf Khusus DAP Dominikus, selain menyebutkan tujuh poin seruan dan 4  poin pernyataan, juga menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak bangsa pribumi maupun UU Dasar 1945.
“Dalam Sidang Dewan HAM PBB pada bulan Juni 2006 di Kota Jeneva, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi. Pemerintah Indonesia juga telah menandatanggani Dokumen yang sama di Sidang Umum PBB di New York pada tanggal 13 September 2007. Dengan demikian, telah jelas bahwa Negara dan Pemerintah Republik Indonesia bukan saja menyetujui atau mendukung Deklarasi PBB, tetapi dengan sendirinya  terikat dan berkewajiban melaksanakan setiap butir dari Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi.
Dikatakan,  meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan kewajiban dan komitmennya untuk membangun masyarakat adat Papua lewat UU Otonomi Khusus,  menurut Forkorus bahwa kenyataannya hingga saat ini, kondisi sosial ekonomi dan budaya serta sipil politik  masyarakat adat Papua semakin buruk dan termarjinalkan.  “Ketika hak-hak masyarakat adat Papua tidak terpenuhi, maka pemerintah telah lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak bangsa pribumi maupun UU Dasar 1945,” tandasnya.
Dalam seruannya yang terdiri 7 poin, ia meminta kepada seluruh masyarakat adat Papua untuk membangun persatuan dan kekuatan bersama sebagai satu bangunan yang kokoh.
“Jangan terus memberi diri untuk dipecah belah dengan kampanye PILKADA yang cenderung mengadu domba sesama masyarakat adat, atau isu-isu dan cara-cara yang menciptakan konflik diantara masyarakat adat Papua, atau antara masyarakat adat Papua dengan pihak lain sebagai mitra yang setara dan yang saling menguntungkan,” serunya.
Seruan berikut, yakni menyatakan bahwa tanah Papua harus dibebaskan dari tindakan kekerasan dan penindasan dan harus dibangun sebagai Tanah Damai, Tanah yang penuh Berkat.
“Karena itu Dewan Adat Papua juga menyerukan pentingnya satu para-para dialog internal antara Pimpinan adat, Pemimpin gereja dan para Pimpinan Agama, politisi Papua, para birokrat Papua, anggota parlemen  maupun LSM guna bersama-sama mencari solusi dalam mengatasi persoalan masyarakat adat Papua yang dari hari ke hari justru semakin memperihatinkan,” jelasnya.
Poin berikut, forkorus menyebutkan bahwa pihaknya memandang bahwa pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan gagal melakukan perlindungan dan pengoyaman serta ketrentraman warga sipil di Tanah Papua tanpa terkecuali. “Untuk itu, kami menghimbau kepada pemerintah untuk secara proaktif dan professional menanganinya,” lanjutnya.
Selanjutnya, dinyatakan bahwa tanah adalah Ibu dan warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dirawat dengan baik untuk kebahagiaan kita dan anak cucu masyarakat adat Papua.
“Karena itu, Dewan Adat Papua menyerukan kepada seluruh tokoh adat dan anak adat Papua untuk tidak menjual tanah-tanah adat. Pembangunan investasi di Papua tidak boleh menghilangkan hak masyarakat adat atas tanahnya,” tandasnya.
Dewan Adat Papua, juga menyerukan kepada seluruh masyarakat adat Papua untuk secara aktif membantu dan atau mengambil inisiatif dalam melestarikan bahasa ibu, mengembangkan pendidikan tradisional secara landasan yang kokoh bangunan nilai dan tatanan kehidupan bangsa yang bermartabat.  Selain itu, kita meningkatkan ketahanan panganan berbasis tanaman makanan lokal masyarakat adat Papua.
Masih dalam seruan Dewan Adat Papua, dinyatakan bahwa DAP mendesak Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat, Dunia Usaha, Lembaga-lembaga Internasional yang berada di Tanah Papua serta seluruh masyarakat adat di Tanah Papua dan diluar Tanah Papua untuk membantu penyelesaian Konflik Kekerasan di Tanah Papua  dengan jalan dialog sebagai sarana terbaik;
Sedangkan dalam seruan terakhirnya (ke tujuh), DAP mendesak aparat kepolisian tidak melupakan dan terus berupaya mengungkap dibalik penembakan terhadap Aktivis HAM alharhum Opinus Tabuni.
Di akhir pidatonya, Forkorus menegaskan tentang pandangannya DAP, bahwa sampai saat ini, eksistensi Masyarakat Adat Papua tidak diakui oleh pemerintah Indonesia.
“Eksistensi dan perjuangan masyarakat adat Papua masih sering dilihat dalam perspektif politik sehingga dengan mudah memunculkan justifikasi yang mengarah pada aktifitas separatis dan makar,” ungkapnhya.  
Sementara itu, Perayaan Hari  Pribumi Internasional Tahun 2011 yang jatuh pada Selasa (9/8) bisa menjadi refleksi  terhadap prilaku kekerasan yang  terus dialami warga pribumi atau  orang asli untuk memikirkan strategi melindungi diri dari semua ancaman dari luar dan bertahan hidup pada nilai nilai kebudayaan yang diwariskan secara  turun temurun, dengan begitu  bisa bertahan   hidup di era transformasi saat ini.
“Kami menyampaikan  selamat  bagi mereka yang merayakannnya,” Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Matius Murib menegaskan via ponsel kepada Bintang Papua, Selasa (9/8) malam.
Menurut dia, terkait dengan tanggal 9 Agustus adalah Hari Pribumi Internasional, masyarakat Papua bisa rayakan, hanya masih trauma dengan tahun 2008 ketika perayaan itu terjadi insiden penembakan terhadap seorang warga sipil  Opinus Tabuni  di Wamena, yang belum juga terungkap  aparat kepolisan hingga saat ini.
“Komisi untuk masyarakat pribumi di PBB tentu  memantau perkembangan kasus kasus yang dialami  warga termasuk orang asli Papua dan lain lain,” ujarnya.