Jakarta – Sebanyak 18 akademisi dari beberapa Universitas di seluruh Indonesia yang tergabung dalam Forum Akademisi untuk Papua Damai (FAPD) Kamis (11/8) kemarin di Hotel Ibis Jakarta mengeluarkan pernyataan sikapnya, yang meminta agar penyelesaian masalah Papua di lakukan lewat jalan damai,  dengan menggelar dialog bagi pihak – pihak terkait dengan Pemerintah.

“ini bentuk kepedulian kami para akademisi untuk ikut ambil bagian dalam proses resolusi konflik yang terjadi di Indonesia secara umum, dan momentumnya pas untuk kita mulai dari Papua,” kata Koordinator FAPD Dr. Otto Syamsuddin Ishak salah satu perwakilan dosen dari Universitas Syiah Kuala kepada Bintang Papua via telepon semalam. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa kerja – kerja dari FAPD ini nantnya akan mencoba membuat kajian – kajian akademis guna menolong percepatan proses resolusi konflik secara damai, bukan hanya di Papya namun di seluruh Indonesia nantnya.
Dr. Pater Neles Tebay yang juga salah satu penggagas FAPD kepada Bintang Papua via telepon semalam menjelaskan,  gagasan pembentukan dan deklarasi Forum Akademisi untuk Papua Damai ini berangkat dari sebuah Focus Group Discussion  (FGD) yang di gagas oleh Imparsial Jakarta dengan mengundang perwakilan akademisi dari beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Jayapura.
“Jadi kami diskusi 2 hari, dimana kami semua di minta membuat paper dengan thema “Partisipasi masyarakat kecil dalam mendorong dialog dalam menyelesaikan konflik di Papua”  dan mempresentasikannya, berangkat dari FGD kemarin itulah kami hari ini Deklarasikan FAPD ini”, katanya.
Dalam pernyataan sikapnya FAPD,  menyampaikan 3 point penting yakni, (1) FAPD prihatin terhadap berlarutnya konflik di Papua, (2) FAPD berkeyakinan bahwa konflik di Papua dapat di selesaikan melalui dialog damai, (3) untuk itu FAPD mendesak para pihak untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
FAPD terdiri dari 18 akademisi diantaranya Prof. Dr. Mestika Zed (Universitas Negri Padang), Prof. Dr. H. Arfin Hamid, S.H., M.H (Universitas Hasanuddin), Prof. Purwo Santoso, M.A., Ph.D (Universitas Gajah Mada), Dr. Muridan S. Widjojo (Universitas Indonesia), Dr. Mangadar Situmorang (Universitas Parahyangan), Dr. I Nyoman Sudira (Universitas Parahyangan), Dr. M. Ali Syafa’at (Universitas Brawijaya), Dr. Rahayu, S.H., M. Hum (Universitas Diponegoro), Dr. Otto Syamsuddin Ishak  (Universitas Syiah Kuala), Dr. Pater Neles Tebay (Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur).
Selain itu juga ada Dr. Antie Solaiman, M.A (Universitas Kristen Indonesia), Ir. Sahat Marojahan Doloksaribu, M.Ing (Universitas Kristen Indonesia),  R. Herlambang Perdana W, S.H., M.A (Universitas Airlangga), Shiskha Prabawaningtyas, M.A (Universitas Paramadina), Sholehudin A. Aziz, MA (Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah), Munafrizal Manan, S.Sos, M.Si (Universitas Al-Azhar Jakarta), Vience Tebay, S.Sos, M. Si (Universitas Cendrawasih), dan  Anton Aliabbas, M.Si., MDM (Universitas Pertahanan Indonesia).
Menurut FAPD Papua terus dilanda konflik sejak awal integrasi hingga saat ini dan persoalan ketidakadilan tidak teratasi. Penggunaan pendekatan keamanan selama ini terbukti tidak menyelesaikan persoalan konflik.
Akibatnya Konflik Papua justru terus langgeng dan kian mengakar dimana para pelakunya yang terus beregenerasi dari tahun ke tahun. Di lapangan, upaya penekanan pola pendekatan militeristik atau jalan kekerasan terus menimbulkan korban warga sipil di Papua, sebagai akibat dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan kerap dilakukan oleh aparat keamanan di Papua.
Dalam konteks lainnya, Negara telah mengeluarkan kebijakan dengan memberikan Otonomi Khusus (Otsus) terhadap Papua yakni sejak tahun 2001. Kendati demikian, pemerintah pusat juga dinilai tidak konsisten dalam penerapannya sehingga gagal khususnya dalam menyejahterakan rakyat Papua.
Dengan mencermati perkembangan tersebut, kebutuhan terhadap upaya penyelesaian konflik Papua dengan tanpa menggunakan  pendekatan militeristik sangat penting untuk mewujudkan Papua tanah damai.
Langkah tersebut dapat dilakukan dengan mendorong terjadinya dialog Jakarta-Papua sebagai jalan menuju penyelesaian konflik Papua.
Lebih jauh, penggunaan jalan dialog ini juga penting jika mempertimbangkan adanya kompleksitas persoalan yang menjadi akar konflik Papua. Di titik ini, harus dipahami bahwa persoalan akar konflik Papua ini bukan semata urusan keamanan, atau secara spesifik terkait munculnya separatisme Papua.
Jika dicermati lebih jauh, bahwa akar persoalan konflik Papua sesungguhnya begitu kompleks yang meliputi berbagai sektor kehidupan di Papua: persoalan sejarah, politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Oleh karena itu keliru bila konflik Papua disederhanakan menjadi persoalan separatisme semata.
Kompleksitas persoalan menuntut penyelesaian konflik Papua secara komprehensif. Upaya itu dapat dirintis melalui dialog damai. Jalan dialog damai bukanlah suatu tujuan, melainkan sebagai proses awal untuk bisa menyepakati berbagai akar masalah dan bagaimana cara penyelesaiannya.