JAYAPURA-Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka menuding laporan Komando Pasukan Khusus tahun 2006-2009 yang dibocorkan oleh kelompok media Fairfax Australia, Sabtu (13/8), memiliki kepentingan tertentu. Dokumen tersebut berisi salah satunya gerakan OPM serta persenjataan mereka.
Lambert Pekikir, Koordinator Umum TPN OPM Dalam Negeri Papua Barat, Mandataris J. H. Prai, kepada Bintang Papua mengatakan laporan Kopassus tersebut mencerminkan ketidaktahuan aparat negara terhadap OPM.  “Yang ditulis soal senjata dan jumlah anggota OPM, bisa jadi hanya OPM piaran saja. Mereka kan banyak, jadi bisa saja dibikin-bikin. Kepentingannya saya kira dalam laporan itu jelas, orang sudah tahu, saya tidak perlu sebut lagi,” ujarnya, kemarin.

Ia mengatakan, laporan Kopassus, seperti juga yang pernah terbit pada tahun 2010 ketika dibocorkan Alan Nairn, wartawan Amerika Serikat, merupakan bagian dari strategi aparat untuk melemahkan perjuangan rakyat Papua. “Itu kalau benar bocor, saya memang belum membacanya, tapi saya kira apa yang tertulis terkait pergerakan kemerdekaan bukan lagi sesuatu yang harus ditutup tutupi,” ujarnya.
Kemerdekaan sejatinya adalah kehendak seluruh rakyat Papua. Jikalau laporan itu berisikan anggapan pergerakan rakyat membahayakan kedaulatan negara, kata dia, seharusnya pemerintah cepat memberi solusi.
Ia juga mengecam dimasukannya sejumlah nama tokoh Papua dalam laporan Kopassus. Mereka antara lain Buchtar Tabuni yang kini dipenjara akibat tuduhan makar, juga pemimpin gereja Baptis di Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman. “Itu maksudnya apa? Itu sama dengan aparat yang tidak profesional, asal lapor saja,” ujar Lambert
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Matius Murib mengatakan, laporan Kopassus yang bocor di luar negeri memberi kesan aparat Intelejen Indonesia tidak profesional. Jika laporan itu sangat berharga, tentu bukan dijadikan barang mainan dan akhirnya diketahui pihak luar negeri. “Ini ada dua, pertama aparat kita kurang profesional dan kedua, memang sengaja dibocorkan, tapi ada apa hingga sampai bocor, itu memang perlu dilihat lagi,” paparnya.
Matius enggan berspekulasi apakah laporan tersebut memiliki ‘kepentingan’. Namun baginya, aparat intelejen perlu mengoreksi diri atau mengevaluasi lagi kinerjanya ke dalam. “Saya heran bisa sampai bocor, catatan pentingnya adalah tidak profesional intelejen kita,” pungkasnya.
Ia memandang, laporan tersebut bisa jadi akan sangat berharga untuk kepentingan Australia yang pernah bersitegang dengan Indonesia beberapa tahun lalu. Tapi apakah itu benar, setidaknya perlu bukti. “Saya kira intelejen atau TNI wajib menjadikan ini sebagai pelajaran untuk menjaga barang rahasia.”
Meski demikian, Matius kurang sreg bila nama tokoh Papua dicantumkan sebagai yang diincar atau sekurangnya dimata-matai. “Setiap orang punya hak hidup, kalau hidup didalam bahaya atau terus dimata-matai, itu melanggar HAM. Apa salahnya para pemimpin gereja sehingga mereka dimasukkan dalam laporan tersebut, ini perlu diperjelas lagi,” urainya.
Ia menyarankan agar pemerintah dan aparat membuka ruang seluas-luasnya bagi aktivitas warga dan memberikan kebebasan selayaknya seperti diatur undang-undang. “Jangan selalu kami dicurigai. TNI, warga sipil atau siapapun dia memiliki hak untuk hidup, jika hidup dalam ancaman, itu melanggar hak asasi seseorang,” katanya.
Sebelumnya Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu, Ahad kemarin mengatakan, pihaknya masih menyelidiki dokumen yang bocor tersebut. “Kita masih menyelidiki, saya tahu dokumen itu bocor, tapi belum bisa menjelaskannya, jadi marilah kita cari tahu sama-sama itu,” kata Triassunu.
Menurutnya, masalah ini tidak sampai mengganggu keutuhan negara. Pihak yang melakukan hanya ingin menunjukan bahwa TNI tidak dalam keadaan yang kuat untuk melindungi arsip berharganya. “Tapi itu bukan berarti akan mengancam keutuhan negara, kita tetap utuh, yang penting jangan terprovokasi,” ucapnya.
Dokumen yang berjudul “Anatomi Separatisme Papua” itu menyentil pula tentang gerakan pendukung Papua Merdeka yang ada di luar negeri. Diantaranya Senator AS dari Partai Demokrat, Dianne Feinstein; anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh, Andrew Smith; mantan Perdana Menteri Papua Niugini, Michael Somare, bahkan pejuang antiapartheid Afrika Selatan, Uskup Agung Desmond Tutu.