JAYAPURA— Menyikapi kekerasan yang belakangan ini marak terjadi di Papua, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Kota Jayapura,  akan menggelar Diskusi Panel Diskusi Panel “Peristiwa Kekerasan, Media dan Informasi yang Kredibel” dan Buka Puasa Bersama Untuk Kalangan Wartawan.  Diskusi ini akan digelar Sabtu (27/08) bertempat di Hotel Aston Jayapura, dengan menghadirkan nara sumber masing-masing, Mayjen TNI Efri Triassunu, Kapolda Papua, Irjen Pol Dikman Lukman Tobing, Pater Neles Tebay (Jaringan Damai Papua) dan Victor Mambor (Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura).

Ketua AJI Kota Jayapura Victor Mambor menuturkan bahwa maksud dan tujuan dari diadakannya diskusi ini adalah untuk sharing informasi antara wartawan dan pihak-pihak yang terkait dengan kondisi keamanan di Papua. “Diskusi ini juga dimaksudkan untuk menghimbau agar menjaga keamanan dan ketertiban dalam menghadapi Hari Raya Idul Fitri, juga ramah tamah atau berbuka puasa bersama,” tandasnya.
Sepanjang bulan Agustus, lanjutnya, sudah terjadi sembilan tindakan kekerasan di Papua. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua, rangkaian kekerasan tersebut adalah Penembakan terhadap warga sipil di Nafri (1 Agustus). Sebanyak empat orang meninggal dunia. Selanjutnya tanggal 4 Agustus, Dany Kogoya yang mengaku sebagai Panglima Perang Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) mengaku bertanggung jawab, Penusukan terhadap calon mahasiswa La Ode Rusdi di Jayapura (2 Agustus), Rangkaian penembakan terhadap warga sipil (1 dan 16 Agustus) terjadi di pinggiran Kota Jayapura di perkampungan Nafri dan Abe Pantai, Tanah Hitam, dan Kamp Key, Pembunuhan terhadap dua tenaga pengamanan Kantor Kwarda Pramuka (15 Agustus). Korban adalah Majib dan Abner Kambu, Upaya pembunuhan terhadap Indra, mahasiswa STAIN Al Fatah, Jayapura (16 Agustus), Penembakan terhadap mahasiswa yang diduga sebagai perampok, Pembacokan terhadap mahasiswa di Rektorat Uncen, Pembunuhan satu anggota TNI Kodam XVII Cenderawasih, Kekerasan/Upaya pembunuhan terhadap dua anggota Brimobda Papua di RSUD Dok II dan Pembunuhan terhadap seorang warga Keerom (Jas Wenda) di kebunnya.
“Sementara itu, di daerah pedalaman, seperti di Paniai, terjadi serangan atas Polsek Komofa (16 Agustus), rentetan tembakan di lapangan kantor Bupati Paniai (17 Agustus), kontak senjata di jalan trans-Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Paniai (17 Agustus) dengan korban tewas satu orang diduga anggota OPM, sementara dua polisi dan satu tukang ojek terluka,” urainya.
Disebutkannya juga bahwa terdapat juga kontak senjata di Distrik Madi-Paniai (17 Agustus) yang mengakibatkan kendaraan pengangkut makanan tertahan. Lainnya, penembakan terhadap tukang ojek di Jalan Yamo Distrik Mulia di Kabupaten Puncak Jaya (20 Agustus). Korban tewas atas nama Buasan (40).
“AJI Kota Jayapura memandang media atau pers adalah salah satu aktor penting dalam menurunkan atau menghentikan frekwensi kekerasan di Papua,” ujarnya.
Dituturkannya, di sini peran media massa dalam menyoroti berbagai fakta di lapangan yang terkait dengan peristiwa-peritiwa konflik dan kekerasan yang ada di masyarakat menjadi penting. Dimana media membawa fenomena konflik di dalam masyarakat ke permukaan sehingga mampu diketahui oleh khalayak secara luas. Suatu kondisi yang selama rezim Orde Baru selalu ditutup-tutupi oleh berbagai macam mekanisme kontrol dan sensor negara.
“Media juga dituntut memiliki kemampuan di dalam menentukan bagaimana suatu isu atau peristiwa konflik menjadi penting di dalam masyarakat, media juga berperan di dalam bagaimana seharusnya masyarakat memaknai fenomena konflik dan kekerasan tersebut,” tukasnya.
Ditambahkan, di sini idealnya media melakukan agenda-setting untuk menciptakan kondisi agar masyarakat menjadi cerdas di dalam mengkritisi berbagai macam konflik yang terpublikasikan melalui media. Untuk itu, kondisi yang lebih demokratis dapat diharapkan ketika masyarakat lebih kritis dalam mengevaluasi mengapa konflik dan kekerasan begitu marak di dalam masyarakat Indonesia. Dan bukan terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis selanjutnya sebagai dampak dari pemberitaan media.
“Meski demikian, bukan hal mudah untuk memahami sebuah konflik atau kekerasan untuk menterjemahkannya dalam pemberitaan. Dibutuhkan informasi yang akurat, kredibel, sumber yang jelas dan juga keterbukaan dalam menyampaikan informasi, baik oleh narasumber maupun oleh media sendiri,” pungkasnya.
Selain itu, media atau jurnalis dapat berdiri dan menjunjung tinggi kode etik dan UU Pers, namun jika disisi lain pihak-pihak terkait belum memahami fungsi dan peran media, maka bukan tidak mungkin justru media akan dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam konflik atau kekerasan yang terjadi. Oleh karena itu, relasi antara media dan pihak-pihak yang terkait dengan kondisi keamanan di Papua perlu dijaga dan terus menerus dibangun.  “Setidaknya, dengan komunikasi yang intensif, masing-masing pihak bisa memiliki pemahaman yang sama terhadap upaya menciptakan Papua sebagai wilayah yang aman dan nyaman bagi masyarakat dan juga mengurangi atau menghentikan peristiwa kekerasan yang terjadi belakangan ini,” terangnya.