Mengenang 9 Tahun Tragedi Wamena Berdarah :

JAYAPURA - Jangan lupa akan sejarah 4 April 2003  lalu yakni untuk mengenang Sembilan (9) tahun tragedi sejarah yang memilukan dan buram bagi rakyat Papua, dimana tragedi atau persitiwa ini disebut dengan peristiwa Wamena Berdarah. Tragedi itu telah menelan banyak korban jiwa maupun harta benda dari rakyat.
Demikian Koordinator Bersatu Untuk Keadilan (BUK), Peneas Lokbere saat jumpa pers di Sekretariat Aliansi dan Demokrasi Untuk Papua (ALDP), Perumnas IV-Padang Bulan, Rabu (4/4) kemarin siang.

Direktur Aliansi dan Demokrasi untuk Papua (ALDP) atau Kuasa Hukum dari Kimanus Wenda, Cs. Latifah Anum Siregar, SH. Koordinator Bersatu Untuk Keadilan (BUK), Peneas Lokbere, Anggota ALDP, Corry, SH. dan Usman, SH.

Direktur Aliansi dan Demokrasi untuk Papua (ALDP) atau Kuasa Hukum dari Kimanus Wenda, Cs. Latifah Anum Siregar, SH. Koordinator Bersatu Untuk Keadilan (BUK), Peneas Lokbere, Anggota ALDP, Corry, SH. dan Usman, SH.

Dikatakan, peristiwa itu berawal dari sekelompok massa yang tidak dikenal membobol gudang senjata dari Markas Kodim 1702 Wamena. Dalam aksi pembobolan dan penyerangan tersebut menewaskan dua (2) anggota Kodim yaitu Lettu Inf. Napitupulu dan Pratu Ruben Kana (penjaga gudang senjata, red) serta satu orang mengalami luka berat. Diduga kelompok massa yang melakukan pembobolan dan penyerangan di gudang senjata dari Markas Kodim 1702 Wamena membawa lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi. “Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, yakni aparat keamanan gabungan dari TNI-Polri langsung melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa, sehingga banyak menelan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara besar-besar yaitu dari tempat-tempat yang menjadi titik penyisiran aparat TNI-Polri tersebut,” ungkap Peneas Lokbere saat didampingi oleh Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar, SH. Anggota ALDP, Corry, SH. dan Usman, SH. kemarin siang. Lanjutnya, akibat itu banyak ditemukan pelanggaran HAM terberat, pada medio Juli 2003  Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan Projusticia atas dugaan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus Wamena Berdarah tersebut, dimana telah dilaporkan Sembilan (9) orang dibunuh, sebanyak 38 orang mengalami luka-luka serta pemindahan (mengungsi, red) secara paksa terhadap penduduk dari 25 kampung yang ada di Wamena, yang mengakibatkan sebanyak 42 orang meninggal karena kelaparan dan 15 orang merupakan korban perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang oleh aparat TNI-Polri yang melakukan penyisiran.
“Setelah penyisiran tersebut mengakibatkan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang terhadap Kanius Murib yang dihukum 20 tahun penjara, Enos Lokobal juga dihukum 20 tahun penjara, Yaprai Murib dihukum penjara seumur hidup, Numbungga Talenggen juga dihukum penjara seumur hidup, Kimanus Wenda dihukum 20 tahun penjara serta Linus Hiluka juga selama 20 tahun penjara, sementara Michael Heselo meninggal dalam tahanan di LP Gunung Sari, Makassar. Dimana mereka dituduh dengan melakukan tindak pidana makar,” ujar Lokbere.
Menurutnya, penangkapan dan penahanan maupun semua proses hukum hingga vonis dijatuhkan kepada Kimanus Wenda, Cs. kami anggap itu tidak mengedepankan asa legalitas (praduga tak bersalah) terutama menyangkut penangkapan maupun penahanan secara sewenang-wenang baik yang dilakukan oleh TNI-Polri, saat pemeriksaan tidak pernah diberitahukan tentang hak-hak mereka selaku tersangka.
“Dimana Kimanus Wenda, Cs. saat pemeriksaan awal tidak didampingi Penasehat Hukum (PH), padahal pasal yang dikenakan ancaman pidana diatas lima (5) tahun, itu harus didampingi oleh PH, terlebih Kimanus Wenda tidak fasih berbahasa Indonesia dan proses persidangannya dibawa tekanan TNI-Polri, dan setelah di vonis langsung dipindahkan secara paksa ke LP Klas I A Gunung Sari, Makassar  pada pertengahan Desember 2005, tanpa memberitahukan kepada pihak keluarga dari Kimanus Wenda,” katanya.
Dikatakannya, Komnas HAM pada medio Juli 2004 mengeluarkan laporan KPP HAM Wamena mengenai penyelidikan pro justice atas dugaan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus Wamena Berdarah 4 April 2003 lalu.
“Peristiwa itu terjadi secara massif, massal dan meluas di Kota Wamena yakni seperti Walesi, Sinakma, Ilekma, Okilik, Honai Lama, Hubi Kosi, Ibele, Walaik, Asologoima, Balingga, Tiom dan Kiyawage. Rupanya sudah menjadi kebiasaan, apabila para Penuntut Umum di Kejagung selalu mempertanyakan bukti formil maupun materiil dalam kasus Wamena Berdarah terhadap Komnas HAM, yang tidak jauh berbeda dengan kasus Abepura serta kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya, dimana Kejagung berjanji akan menyelesaikan perdebatan syarat formil maupun materiil dari laporan Komnas HAM tersebut,” ungkapnya.
Ia mengatakan, di Tahun 2008 Komnas HAM menyampaikan bahwa pengembalian berkas dan petunjuk yang dikembalikan Kejagung RI sama sekali tidak berdasar. Parahnya hingga tahun 2012 ini Komnas HAM maupun Kejagung RI tidak ada kemauan untuk menyelesaikan laporan pelanggaran HAM berat dalam kasus Wamena Berdarah tersebut, yang mana sangat sekali diharapkan oleh masyarakat yang menjadi korban termasuk para Napol yang merupakan tertuduh dari peristiwa tersebut.
“Fakta proses hukum dalam Kasus Wamena Berdarah sangat jauh melenceng dari UU Nomor 26 Tahun 2000 mengenai pengadilan HAM, dimana dalam Pasal V ayat 22 disebutkan dalam melakukan penyidikan segera menyelesaikan dalam jangka waktu 90 hari+90 hari+60 hari yang disetujui oleh Ketua Pengadilan HAM. Apabila jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, maka Kejagung segera mungkin mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan,” katanya.
“Jadi, disini sangat jelas sekali kalau Kejagung telah melanggar ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Tahun 2000 yang menjadi bukti bahwa Negara tidak serius dalam membantu pemenuhan rasa keadilan bagi para korban peristiwa Wamena Berdarah tersebut,” imbuhnya.
Dikatakannya, hingga saat ini Pemerintah hanya lepas tangan dan tidak mempunyai inisiatif atau kesriusan untuk membuka akses kesehatan bagi para Napol kasus pembobolan gudang senjata di Markas Kodim 1702 Wamena, yakni faktanya Michael Heselo meninggal dunia (Agustus 2007) di LP Gunung Sari, Makassar, Kimanus Wenda diijinkan berobat ke Jayapura, namun itupun harus dengan tanggungan biaya dari keluarga maupun kami yang sebagai pendampingnya.
Maka itu kami mendesak kepada Komnas HAM menggunakan kewenangannya dan ketegasan sikapnya untuk mempertanggungjawabkan laporan penyelidikan Wamena 4 April 2003 lalu sebagai pelanggaran HAM Berat kepada public atau masyarakat yang menjadi korban atas kemacetan dari kasus Wamena Berdarah selama ini terjadi. Dan Jaksa Agung menggunakan kewenangan penyidikan dan ketegasan sikap dalam mempertanggungjawabkan kasus Wamena Berdarah tersebut dihadapan publik.
“Kami meminta kepada Presiden RI, SBY beserta jajarannya untuk memfasilitasi persoalan yang terjadi selama ini antara Kejagung dan Komnas HAM, kepada Gubernur, DPR Papua, maupun MRP atau MRPB untuk memberikan kebijakan khusus bagi korban dan keluarganya untuk mendapatkan keadilan maupun kesejahteraan serta aparat keamanan baik TNI maupun Polri untuk memberikan rasa aman terhadap kelangsungan hidup masyarakat di Pegunungan Tengah dan Papua pada umumnya,” pungkasnya.