JAYAPURA – Enam tahun lalu, tepat tanggal 16 Maret 2006, merupakan hari kelabu bagi Tanah Papua. Hari itu, para pemuda dan mahasiswa Papua di Jayapura melakukan aksi yang disertai pemblokiran jalan raya Abepura-Sentani tepat di depan Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Padangbulan, Abepura, Jayapura. Aksi itu berakhir ricuh, bahkan memakan korban jiwa di pihak warga Papua maupun aparat keamanan.

Mengenang aksi berdarah itu, Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas F-PEPERA PB) merefleksikannya sebagai satu sejarah kelam yang dianggap masih membekas lantaran kepincangan dalam proses hukum bagi sejumlah patriot muda.Dalam press releasenya, Eksnas F-PEPERA PB menulis bahwa pada peristiwa berdarah 16 Maret 2006, ratusan mahasiswa ditangkap, dipenjara dan disiksa. Dari antara mereka, ada yang dibebaskan dalam kondisi tubuh penuh luka dan bengkak. Ada yang ditahan dan dihukum melalui proses hukum yang sungguh tidak adil berdasarkan keterangan para saksi palsu. Puluhan mahasiswa dan pemuda dibunuh secara misterius. Tak sedikit asrama mahasiswa-mahasiswi dari seluruh kabupaten se-Tanah Papua di Jayapura dirusak aparat keamanan. Sebagian besar mahasiswa-mahasiswi termasuk masyarakat melarikan diri ke hutan selama beberapa bulan karena terus dikejar-kejar. Praktis, proses perkuliahan dan belajar mengajar di sekolah-sekolah lumpuh total.

Lebih lanjut dipaparkan, kerinduan akan suatu kebebasan terpatri dan termeterai abadi dalam ruang terdalam setiap insan kaum tertindas. Kerinduan itu bagaikan roh yang memberi semangat bagi setiap kaum tertindas, kerinduan juga menjadi sungai yang menyejukkan dan penawar dahaga yang melegahkan demi meraih kebebasan yang penuh onak dan duri. Ia menjadi kompas ketika terhimpit oleh pelbagai masalah yang menimpa lorong perjuangan, juga menjadi penghibur jiwa, tatkala dililit duka lara. Tapi kerinduan yang tak pernah terkabul dapat menjadi sebuah dilema yang membelenggu jiwa, bahkan dapat mengakibatkan luka batin yang tak dapat disembuhkan. Luka batin itu hanya dapat disembuhkan dengan terwujudnya kerinduan yang diidam-idamkannya.

Bahwa kaum tertindas meneteskan darah air mata dalam medan perjuangan mencapai kerinduannya. Setiap tetesan darah air mata kaum tertindas yang bercucuran membasahi ibu bumi menjadi bukti otentik dalam suatu perjuangan kebebasan. Setiap tetesan yang terserap abadi dalam ibu bumi itu, mengalir dalam setiap jiwa-jiwa yang resah bagaikan aliran sungai abadi yang mengairi lading dan kebun. Sungai abadi itu memberi penyegaran bagi para kaum tertindas yang berjuang mencari suatu kebebasan total. Tetesan darah air mata kaum tertindas dalam medan perjuangan kebebasan adalah merupakan pengorbanan termahal dan terbesar yang tak dapat diukur, bahkan juga tak dapat dibayar dengan berbagai tawaran murahan, entah berupa materi maupun tawaran apa pun. Ia hanya dapat dibayar dengan kebebasan total.

Butiran-butiran tetesan darah air mata itu menguap dan bergerak ke segala arah ditiup angin, yang selanjutnya menjadi awan gemawan dan tercurahlah hujan membasahi umat manusia di planet bumi ini untuk mengingatkan akan penindasan yang dialami kaum tertindas. Bagi umat manusia yang tergerak dengan tetesan darah air mata kaum tertindas, ia akan terpanggil dan membaktikan hidupnya bagi pembebasan kaum tertindas. Atau setidaknya ia memberi dukungan, berupa materi maupun moril demi pembebasan kaum tertindas, hanya demi penegakkan kemanusiaan di atas segala kepentingan.

Inilah suatu pergumulan hidup rakyat Papua yang tak pernah terungkap, namun menjadi cerita tiap saat. Sudah puluhan tahun rakyat Papua mengembara dibawah berbagai penindasan. Tak terhitung banyaknya butiran-butiran tetesan darah air mata kaum tertindas Papua yang tercurah terserap abadi di dalam ibu Bumi Papua. Tetasan darah air mata yang merembes ke dalam tataran Tanah Papua itu menjadi suatu bukti otentik yang terpatri dan dikenang sepanjang masa. Ia terukir abadi dalam ibu bumi Papua dan termeterai abadi dalam ruang terdalam kaum tertindas “Anak Negeri Papua”.

Aksi 16 Maret 2006 tercatat sebagai satu momentum sejarah Papua. Aksi ini harus dibayar mahal, karena banyak korban berjatuhan. Termasuk harta benda. Seluruh pengorbanan memang tak tak akan sia-sia. Dan ini satu realita, juga beragam persoalan yang dibuat oleh manusia di Tanah Papua, maka manusia pulalah yang harus menyelesaikannya.

Namun, dalam konteks masalah Papua berbanding terbalik. Semua pihak, termasuk masyarakat Internasional mengetahui pelbagai kompleksitas masalah Papua, namun entah sengaja atau tidak, entah sadar atau tidak, semua pihak membiarkan masalah Papua, tanpa mencari langkah-langkah alternatif penyelesaian.

Terkesan bahwa ada kelambanan dari semua pihak, terlebih pihak yang peduli dan pemerhati HAM, termasuk kelambanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam menangani masalah Papua, ini memberikan keleluasan bagi Indonesia melalui kaki tangannya untuk membumi-hanguskan etnis Papua melalui berbagai program yang dikemas secara rapi, terstruktur, tersistematis, terselubung dan berkesinambungan.

“Salah satunya, Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah gagal total, yang juga menjadi lambang kejahatan kemanusiaan manusia Papua,” ujar Richard Makop dari Devisi Hukum, HAM dan Politik Eksnas Front PEPERA PB.

Adapun statemen dalam rangka mengenang peristiwa 16 Maret 2006. Pertama, Kapolri melalui Kapolda Papua segera menarik pasukan TNI maupun Polri yang beroperasi di Puncak Jaya dan Paniai karena kehadirannya sangat meresahkan masyarakat sipil dan membatasi ruang gerak masyarakat di kedua kabupaten terutama masyarakat yang berada di dekat pos-pos pasukan, sehingga hingga kini masyarakat sedang hidup dalam ketakutan dan tidak bisa beraktivitas bebas.

Kedua, Presiden Republik Indonesia, Dr. Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kapolda Papua untuk meninjau proses bagi 5 tokoh Papua (Bpk Forkorus Yoboisembut Dkk) yang divonis 3 tahun 7 bulan melalui proses hukum yang penuh manipulatif dan tidak adil karena Kongres Rakyat Papua III diselenggarakan atas dasar ijin Kepala Negara dan penyelenggaraan kegiatanpun atas azas demokrasi.

Ketiga, Wakil Presiden yang diberi kewenangan penuh oleh Presiden SBY agar segera mengambil langkah demi terselenggaranya Dialog Jakarta-Papua yang melibatkan pihak-pihak independen.

Sikap Front PEPERA PB ini dengan setulus hati demi penegakkan kemanusiaan manusia Papua di atas segala kepentingan dan selanjutnya ada langkah-langkah konkrit dalam upaya penyelesaian masalah Papua.