JAYAPURA - Seribuan massa dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang datang dari berbagai penjuru Kota Jayapura menggelar unjuk rasa di Kantor Gedung Dewan Kesenian Tanah Papua (GDKTP) atau di sekitar Taman Imbi Jayapura, Selasa (1/5) kemarin.

 

 

Massa KNPB yang melakukan demo sambil berlari

Massa KNPB yang melakukan demo sambil berlari

Awalnya, massa KNPB melakukan long march dengan cara berjalan kaki maupun dengan kendaraan roda dua atau roda empat baik itu dari sekitar Waena-Expo, Abepantai, Entrop maupun Angkasa menuju Kantor GDKTP tepat pukul 13.00 WIT kemarin siang. Pendemo yang dipimpin  Buchtar Tabuni selaku Ketua Umum KNPB, Mako Musa Tabuni selaku Ketua I KNPB dan Viktor Yeimo sebagai Juru Bicara (Jubir) Internasional KNPB melakukan orasi dan menyampaikan pernyataan politiknya di depan ribuan massa KNPB yang memadati Kantor GDKTP.
Selain itu massa KNPB yang datang dengan berjubel-jubel tersebut dengan menggunakan pakaian tradisional khas Papua Barat serta dilengkapi dengan senjata tradisional seperti Panah, Jubi, Busur, Tombak, Kapak. Bahkan ada sebagian massa yang mencorat-coret dirinya.
Selain itu juga massa membawa atribut demo seperti spanduk yang bertuliskan Papua dalam Zona Darurat,  maka jawabanya dari semua ini adalah Referendum bagi Papua Barat, 1 Mei yang merupakan Hari Aneksasi Bangsa Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan awal pemusnahan Etnis Melanesia di Papua Barat dan Pemerintah Belanda maupun PBB (UNTEA) harus bertanggungjawab atas pembunuhan hak politik, martabat dan harga diri dari rakyat Bangsa Papua Barat sebagai suatu Bangsa. Sedangkan tulisan pamflet yang dibawa para massa adalah Indonesia No dan Referendum Yes, menolak proses aneksasi Bangsa Papua Barat ke dalam NKRI.
Dalam orasinya yang disampaikan  Ketua Umum KNPB Mako Tabuni, intinya menolak proses aneksasi Bangsa Papua Barat ke dalam NKRI, dan rakyat Bangsa West Papua (Papua Barat) adalah suatu Bangsa Negroid, Rumpun Polilinesia, Ras Melanesia, sehingga secara antropologi orang Papua Barat kulit hitam dan rambut keriting serta wilayah teritorialnya dari Sorong sampai dengan Merauke.
“Dasar hukum ini diakui oleh Ir.Soekarno dan Mohammad Hatta, pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI dengan wilayah territorial Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Amboina (Ambon-Maluku), jadi jelas bukan wilayah Papua Barat,” tegasnya.
Lanjutnya, maka proses aneksasi dan integrasi wilayah territorial rakyat Bangsa Papua Barat baik itu melalui perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962, perjanjian Roma Agreement 30 September 1962, penyerahan administrasi pemerintahan West Papua dari Negara Belanda ke UNTEA (PBB) 1 Mei 1963, penyerahan administrasi pemerintahan West Papua dari UNTEA (PBB) kepada Pemerintah Indonesia 3 Mei 1963 maupun dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dimana semua itu telah melanggar prinsip-prinsip dan standar-standar hukum Internasional maupun HAM secara universal yaitu Resolusi PBB pasal 73 bagian a dan b, serta Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514.
“Dikarenakan Dewan New Guinea Raad dideklarasikan 1 Desember 1961, namun tidak dilibatkan sebagai wakil yang punya hak sengketa dalam proses aneksasi dan integrasi untuk menetukan status wilayah Papua Barat,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum KNPB, Buchtar Tabuni dalam orasinya dengan tegas atau prinsipnya kami menentang aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI, dikarenakan itu merupakan awal pemusnahan dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Bangsa Papua Barat. “Maka itu kami dengan keras menentang, dimana Indonesia mengklaim bahwa orang Papua Barat menyerahkan diri ke pangkuan Ibu Pertiwi, namun kami mengerti dan paham serta sadar bahwa sejarah itu tidak benar, sehingga kami memberitahukan kepada rakyat Bangsa Papua Barat agar mengetahui sejarah tersebut tidak benar sama sekali,” tegasnya.
Lanjutnya, ini bukan hari Integrasi namun ini merupakan hari Aneksasi yang artinya Hari Pemaksaan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia terhadap rakyat Bangsa Papua untuk masuk ke dalam NKRI. Jadi sampai kapanpun kami akan menentang proses aneksasi tersebut.
Pernyataan sikap yang dibacakan oleh Mako Tabuni, KNPB telah memediasi seluruh rakyat Papua Barat, untuk menghidupkan kembali Niew Guinea Raad dengan merubah namanya menjadi Parlemen Nasional Papua Barat (PNPB), pada medio 4-5 April 2012 lalu di Hollandia. Kami Bangsa Papua, penduduk Pribumi Papua Barat bekas koloni Nederlands Guinea. “Lembaga representative politik Bangsa Pap[ua “Niew Guinea Raad” yang telah dibentuk 1961 dan memiliki kekuasaan legislatif yang diakui keabsahannya oleh Pemerintahan Kerajaan Nederlands masih tetap ada dan tidak pernah dibubarkan oleh bangsa Papua yang merupakan penduduk pribumi Papua Barat,” ujarnya.
Dikatakann, Niew Guinea Raad akan melanjutkan dan melaksanakan kekuasaan legislatif yang ada pada medio 6 April 2012, guna atas cita-cita kemerdekaan Bangsa Papua di West Papua. Dan menyatakan pada dunia bahwa PNPB adalah manifesto politik Dewan Niew Guinea Raad, telah dihidupkan kembali pada 4-5 April 2012 lalu, yang mana mempunyai hak Legislatif untuk memperjuangkan penentuan nasib sendiri, guna mengadili Belanda di Mahkamah Internasional, dikarenakan ratu Juliana mendukung stategment Presiden RI pada perss di Jepang-Tokyo, pada 20 September 1961.