JAYAPURA - Adanya pertentangan sistem pemerintahan yang terjadi di tanah Papua, dimana Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengklaim bahwa secara defacto Papua telah merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum,yaitu sebagai Negara Federal Repoblik Papua Barat (NFRPB), sementara di satu pihak Alex Mebri Raja di Tanah Papua telah mendeklarasikan Tanah Papua sebagai Kerajaan Papua Barat New Guena/Malanesia yang kedudukan lebih tinggi dari Negara.
Atas pernyataan dimaksud mendapat komentar dari Dekan FISIP Uncen
Jayapura yang juga Pengamat Politik di Papua, Prof.DR.Dirk Veplum,MS.
Dosen Sosiologi ini, menyatakan, memang secara defacto diakui
keberadaan NFRPB tersebut, namun tidak menjadi kekuatan dalam memaksakan
suatu kebijakan aturan kepada pemerintah atau menolak kebijakan yang
diturunkan oleh pemerintah (RI,red). Kecuali jika Papua memiliki
keduanya yakni deafcto dan dejure.
“Selama NFRPB tidak mempunyai
kekuatan dejure, maka belum bisa menolak atau menerima suatu kebijakan
pemerintah apalagi mau membentuk sebagai Negara federal Bangsa Papua
Barat,” ungkapnya kepada Bintang Papua di ruang kerjanya, Kamis,
(18/10).
Apabila secara dejure keberadaan NFRPB diakui oleh
pemerintah (NKRI) itu berarti sama sama membubarkan sistem pemerintahan
di Negara ini, tapi mustahil hal itu bisa terjadi karena pada dasarnya
sudah menjadi harga mati bahwa NKRI mulai dari Sabang sampai Merauke
dan turut mendapat pengakuan dari dunia internasional, yang hingga
kini masih tetap eksis.
Dijelaskan, dengan melihat kondisi sekarang ini sistem pemerintahan
dapat dikategorikan dalam tiga otoritas, diantaranya, otoritas legal
formal, otoritas tradisional dan ada otoritas kharismatik. Disini,
Pemerintah Negara Repoblik Indonesia (NKRI) memiliki otoritas legal
formal yang memiliki otoritas dalam legalitas formal kewenangan dalam
segi penegakan aturan hukum maupun kebijakan-kebijakan pembangunan
maupun kebijakan politik dan secara defacto dan dejure diakui
otoritasnya oleh dunia internasional.
Kemudian, otoritas legalitas
tradisional (yang sifatnya kerajaan) dan otoritas legalitas kharismatik
memang dia diakui dalam suatu Negara, dan memiliki sistem struktur
kepemimpinan kerajaan dan adat istiadat, serta mempunyai segalanya,
tetapi ia bukan menjalankan dan melaksanakan sebuah sistem pemerintahan
dan perangkat kebijakan aturan perundangan maupun pembangunan, sistem
kerajaan hanya bisa sebatas memberikan masukan kepada Negara/pemerintah.
“Sistem atau pemerintahan kerajaan dan otoritas legalitas kharismatik
sifatnya memberikan masukan pendapat kepada pemerintah tetapi dia tidak
bisa mengambil keputusan karena tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan.
Kerajaan secara faktual ada dan memiliki pengaruh yang besar, tapi tidak
tertulis secara hukum formal,” jelasnya.
Menurutnya, meski
memberikan masukan kepada Negara/pemerintah, tapi pada dasarnya
masukannya itu tidak menjadi mutlak untuk di dengar dan dilaksanakan,
hanya sebagai pertimbangan kepada pemerintah dalam mengambil keputusan.
“Jogjakarta hanya memiliki ketiga otoritas itu dan menjadi daerah
istimewa di NKRI, dan ia memiliki kekuatan dan kekuasaan, sistem
pemerintahannya sudah terstruktur, tidak ada pemilihan kepala daerah,
tapi ditunjuk langsung karena Jogjakarta pemerintahannya kerajaan,”
ujarnya lagi.
Ditambahkan, jika Papua mau mencontohi Jogjakarta, itu
sulit karena hanya Raja Ampat saja yang menggunakan sistem kerajaan,
sementara di Papua ini terdapat 250 suku (Multikultur). Tapi jika
dipaksanakan sistem kerajaan, maka sebaiknya disepakati siapa yang
menjadi Raja atas tanah ini.