Google vertaling, dus behoorlijk brak:

Socrates: 1 december Ambtenaren te hoeven niet te hoge

 

Jayapura - Om te reageren op het moment dat uiterlijk 1 december van elk jaar Papoea's Papoea onafhankelijkheid herdacht, volgens Yoman Socratez S, mag reageren officieren niet worden overdreven. "De veiligheidstroepen hebben niet overbodig. Als overdreven, er is wat er in Papua, 'zei hij toen contact opgenomen met Bintang Papua, dinsdag (27/11).

Als gezegd over de polemiek dat gebeurt, of het nu tussen inheemse Papoea's en anderen, volgens Socratez polemiek hoeft niet te gebeuren. "Waarom moet een polemiek te zijn. Als je van Papoea mensen herdenken en vieren 01 december dus aan. Dat is niet het echte probleem. Oorsprong niet de vrede van anderen verstoren, "zei hij.

 

Als het wordt gedaan met gebed of aanbidding, hoeft hij niet te worden ondervraagd. Tenzij mensen doen meneteror of intimideren mensen. "Niet veel mensen willen hun eigen land van Papua te vernietigen. Kook de Papoea's willen verpesten hun eigen land, dat is niet mogelijk, "zei hij. Er wordt gezegd, als predikant heeft hij veel over de geschiedenis geleerd, in het bijzonder de geschiedenis van het Land van Papua, om de waarheid te zoeken. "Ik heb geleerd van boeken over Prof Drooglever Act, het is verklaard dat 1 december is er een dag van de onafhankelijkheid van de natie van Papoea, waar het volkslied werd gemaakt, is er een vlag, en anderen," zei hij.

Dat wat hij later ontbonden door de staat, zoals men zegt Ir Soekarno, 'State ontbinden pop gemaakt in Nederland'. "Dit betekent niet dat Papoea als een staat. Ik denk dat we moeten open en eerlijk zijn. Niet te bedriegen, "zei hij weer.

Regering gevraagd om de Papoea's te misleiden en om eerlijk te zijn om het toe te geven. "Ik was in deze toespraak als leider van het volk. Ik spreek de waarheid. Ik ben geen politicus, maar ik ben een dominee, "zei hij.

Op zijn verwachtingen als een oplossing voor deze problemen, Socrates hoopt dat alle partijen kunnen de geschiedenis te leren zo goed mogelijk en om eerlijk te jurjurnya zijn.

"Ik hoop dat de regering en het volk van Papua alles, laten we leren van de geschiedenis van Papua's fijn, objectief, eerlijk en open. We hebben geen zo'n angstaanjagende spook dat "hij hoopte te maken.

Zo hoeft hij niet onderdrukken onze geschiedenis, niet als een eng spook.

"Wees niet een object van de geschiedenis werd gemaakt als een persoon dan is er profiteren. Het moet niet, "zei hij.

Hij vraagt ??zich ook af waarom 50 jaar verstreken totdat de regering niet herkent het historische feit dikemukannya.

"Er zijn waarheden die verduisterd, die afgebogen, door het gebruik van geweld. Papua mensen spreken de waarheid en zeggen: 'oh je separatistische bent, oh gij verraad' is een probleem ", zei hij.

Dus, moet hij gaan zitten om te redeneren, door de weg van de dialoog tussen Indonesië en Papoea onvoorwaardelijke gemedieerde neutrale partij, om de juiste oplossingen en waardig vinden.

"Ik kan niet beweren dat een deel van de Republiek Indonesië Papua, Papua en kan ook niet beweren dat het land zelf. Het is een must geen operatie moeten zorgvuldig worden ontleed, zodat het duidelijk zijn, "zei hij.

Het zei dat hij het niet eens was dat de dialoog wordt gedaan met bezoeken en dan een ontmoeting met het publiek, of de constructieve dialoog als enige tijd geleden had gesteld. "Nee polemiek, zat te praten ook. Omdat geweld zal het probleem niet oplossen. Ik denk dat het een stap op een waardige, sympathieke en humane. Niet bezoek dan praten, of een constructieve dialoog, dat niet, maar de dialoog is echt een dialoog, "legde hij uit.

 

oorspronkelijke tekst:

Socrates : 1 Desember Aparat Tak Perlu Berlebihan

JAYAPURA – Untuk menyikapi momen tanggal 1 Desember yang oleh orang Papua setiap tahun diperingati sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua, menurut Socratez S Yoman, aparat hendaknya tidak menyikapi secara berlebihan.  “ Aparat keamanan tidak usah berlebih-lebihan. Kalau berlebih-lebihan, berarti ada apa ini di Papua,” ungkapnya saat menghubungi Bintang Papua, Selasa (27/11).

Saat disinggung tentang polemik yang terjadi, baik itu antara orang asli Papua maupun pihak lain, menurut Socratez polemik tersebut tidak perlu terjadi.  “Kenapa musti dijadikan polemik. Kalau rakyat Papua mau memperingati dan merayakan 1 Desember ya silahkan to. Itu tidak masalah sebenarnya. Asal tidak mengganggu ketenangan orang lain,” ujarnya. 

Kalau hal itu dilakukan dengan berdoa  atau ibadah, menurutnya tidak perlu dipermasalahkan. Kecuali kalau melakukannya dengan meneteror orang ataupun mengintimidasi orang.  “Tidak mungkin orang Papua mau menghancurkan negerinya sendiri. Masak orang Papua mau mengacaukan daerahnya sendiri, itu tidak mungkin,” tandasnya. Dikatakan,  sebagai seorang pendeta ia telah belajar banyak tentang sejarah, terutama sejarah Tanah Papua, untuk mencari kebenaran.  “Saya belajar dari buku-buku Prof Drooglever tentang Pepera, ini kan menyatakan bahwa 1 Desember itu sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua, di situ lagu kebangsaan diciptakan, disitu ada bendera, dan lain-lain,” ungkapnya. 

Hal itu yang menurutnya kemudian dibubarkan oleh Negara, sebagaimana dikatakan Ir Soekarno, ‘bubarkan Negara boneka buatan Belanda’. “ Ini kan berarti memang Papua sebagai suatu Negara. Saya kira ini kita harus terbuka dan jujur. Tidak boleh menipu,” tandasnya lagi.

Pemerintah dimintanya jangan menipu orang Papua dan harus jujur mengakui hal itu. “Saya dalam hal ini bicara sebagai pemimpin umat. Saya bicara tentang kebenaran. Saya bukan orang politisi, tapi saya seorang gembala,” ungkapnya.   

Tentang harapannya sebagai solusi atas permasalah tersebut, Socrates mengharapkan agar semua pihak dapat mempelajari sejarah dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jurjurnya. 

“Saya harap pemerintah dan rakyat papua semuanya, mari pelajari sejarah Papua ini baik-baik, secara obyektif, secara jujur dan terbuka. Kita tidak usah bikin seperti hantu yang menakutkan begitu,” harapnya.

Sehingga, menurutnya sejarah tersebut tidak menindas kita, tidak seperti hantu yang menakutkan. 

“Jangan sejarah itu dijadikan sebagai obyek yang orang kemudian mengambil keuntungan di situ. Tidak boleh,” ujarnya. 

Ia pun bertanya-tanya, mengapa hingga 50 tahun berlalu Pemerintah tidak mengakui fakta sejarah yang dikemukannya tersebut. 

“Ada kebenaran-kebenaran yang digelapkan, yang dibelokkan, dengan menggunakan kekerasan-kekerasan. Orang papua bicara kebenaran lalu dibilang ‘oh kamu sparatis, oh kamu makar’ ini satu persoalan,” ungkapnya. 

Jadi, menurutnya musti duduk bicara baik-baik, melalui satu jalan dialog antara Indonesia dan Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak yang netral, untuk mencari solusi-solusi yang benar dan bermartabat. 

“Tidak bisa mengkalim bahwa Papua bagian dari NKRI, dan juga tidak bisa Papua mengklaim sebagai satu Negara sendiri. Ini kan musti ada pembedahan harus dibedah baik-baik, supaya ini bisa jernih,” ujarnya.

Dikatakan, ia tidak setuju bila dialog tersebut dilakukan dengan kunjungan-kunjungan kemudian bertemu dengan masyarakat, ataupun dialog konstruktif sebagaimana yang beberapa waktu lalu sempat dimunculkan. “Tidak usah polemic, duduk bicara baik-baik. Karena kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Saya pikir itu satu langkah yang bermartabat, bersimpati dan manusiawi. Bukan kunjungan kemudian bicara-bicara, atau dialog konstruktif, bukan itu, tapi dialog yang benar-benar dialog,” terangnya.