Beste mensen,

 
Weer voldoende hoofdbrekens over de belangrijke zaken, b.v. het opdelen Van Papua in nog meer distrikten. Meer provincies betekend niet meer ontwikkeling, maar ‘Carving UP Papua: More Districts, More Trouble’ zoals het in Jakarta gevestigde Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) in haar rapport* constateert. Meer militairen en nog meer slecht opgeleide ambtenaren.
De link naar dit rapport vindt hieronder.
 
Met hartelijke groet,
Stichting Pro Papua
Koen J. de Jager
kjdejager @ casema.nl  
 
 
 
18263916589 papua selatan small
Kompas Images / Tribunnews / Dany Pernama.

 

 

Carving Up Papua: More Districts, More Problems

(Jakarta, 9 October 2013) The rapid proliferation of new districts in Papua is strengthening the political influence of highlanders at the expense of the traditionally dominant coast, but it is also producing new conflicts and complicating the search for peace.

A new report from the Jakarta-based Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Carving Up Papua: More Districts, More Trouble, shows how the creation of many of these new districts is driven by clan and sub-clan competition that can erupt into violence around local elections. The problem is exacerbated by unreliable population statistics, inflated voter rolls, and especially in the central highlands, a voting-by-consensus method that invites fraud.

“The carving up of Papua used to be seen as a useful divide-and-rule tactic by Jakarta but now it is driven overwhelmingly by local elites looking for status and spoils,” says Cillian Nolan, deputy director of IPAC. “The problem is that Papua is becoming fractured along clan lines.”

Papua has undergone more administrative expansion than anywhere else in Indonesia. What in 1999 was once a single province with ten districts (kabupaten/kota) has become two provinc­es with 42 districts, and proposals for 33 more divisions are now awaiting parliamentary consid­eration. Much of the expansion has been in the central highlands, the poorest and most remote region of Papua, where the creation of new districts helped build a political base for Lukas En­embe, elected in January 2013 as the first-ever highland governor. His victory has strengthened support for separate provinces along the north and south coasts, although neither is likely to come into being anytime soon.

The report examines the voting practices, collectively called the noken system, used in many parts of the highlands that makes accurate vote-counting impossible and that produced a wide range of implausible results in the governor’s election, including several places with a 100 per cent voter turnout.

It also looks at two recently created districts, Puncak and Nduga, where election disputes resulted in deadly violence, the first between clans, the second between sub-clans and even ex­tended families. In both, the district governments ended up paying astounding sums in com­pensation to victims, funds that could otherwise have been used for social services.

“The solution to local election violence in Papua is not to scrap direct elections, as some top officials have suggested,” says Nolan. “What’s needed is stricter enforcement of the criteria for creating new districts – and a reduction in the financial incentives that make it so attractive.”

Administrative fragmentation may be a way of giving previously unrepresented ethnic groups a stake in the political process but it may not make relations with Jakarta any easier. It has, how­ever, produced a group of over 1,000 elected Papuan officials whose views on Papua’s future will have to be taken seriously.

 

MEMEKARKAN PAPUA AKAN MELAHIRKAN KONFLIK BARU

(Jakarta, 9 Oktober 2013) Pemekaran kabupaten-kabupaten baru di Papua yang terjadi secara cepat sedang memperkuat pengaruh politik orang-orang di daerah pegunungan atas mereka yang berada di pesisir pantai yang secara tradisional dominan. Namun hal ini juga sedang menciptakan konflik-konflik baru dan memperumit usaha untuk mencapai perdamaian.

Laporan terakhir dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Memekarkan Papua: Lebih Banyak Kabupaten, Lebih Banyak Persoalan (Carving Up Papua: More Districts, More Trouble), menunjukkan bagaimana pembentukan kabupaten-kabupaten baru ini ternyata dilatarbelakangi oleh kompetisi antar suku atau sub-suku yang bisa menyebabkan terjadinya kekerasan  di sekitar momentum pemilu lokal. Persoalan ini diperparah dengan data statistik penduduk yang meragukan, menggelembungnya jumlah pemilih, dan seperti yang terjadi di daerah pegunungan tengah, metode pemilihan dengan memakai sistem noken yang menyebabkan terjadinya kecurangan.

 “Memekarkan Papua sebelumnya dilihat sebagai sebuah taktik divide et impera yang dilakukan oleh Jakarta. Namun hal itu kini dilakukan secara  terus menerus oleh elit lokal untuk mendapatkan status dan keuntungan,” kata Cillian Nolan, Wakil Direktur IPAC. “Masalahnya adalah bahwa Papua sekarang ini sedang menjadi terpecah belah berdasarkan garis suku.”

Papua telah mengalami lebih banyak perluasan wilayah administratif dibandingkan daerah lain di Indonesia.  Pada 1999 Papua merupakan satu wilayah propinsi dengan sepuluh kabupaten/kota,  kini Papua telah menjadi dua wilayah propinsi dengan 42 kabupaten, ditambah lagi dengan usulan untuk 33 pemekaran baru yang kini menunggu pertimbangan DPR. Sebagian dari pemekaran ini terjadi di daerah pegunungan tengah yang merupakan daerah yang miskin dan terisolasi di Papua, yang mana pembentukan kabupaten-kabupaten baru seperti ini akan membantu membangun basis politik bagi Lukas Enembe yang pada  Januari 2013 terpilih  jadi Gubernur Papua pertama dari  daerah pegunungan. Kemenangan Lukas Enembe telah memperkuat dukungan dibentuknya propinsi yang terpisah di sepanjang pantai utara dan selatan, meskipun hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Laporan ini mengkaji praktik pemungutan suara yang secara kolektif disebut sebagai sistem noken yang digunakan di banyak tempat di pegunungan yang menyebabkan penghitungan suara tidak mungkin bisa dilakukan secara akurat, dan yang mengakibatkan hasil pemilihan gubernur yang sulit untuk diverifikasi, termasuk  adanya beberapa daerah  dengan 100 persen pemilih.

Laporan ini juga melihat dua kabupaten yang baru saja dibentuk, yaitu Puncak dan Nduga dimana pemilu telah mengakibatkan kekerasan yang mematikan yang terdiri dari kekerasan antar suku dan yang kedua antara sub-suku dengan keluarga besar.  Akibat dua kekerasan tersebut pemerintah kabupaten harus membayar kompensasi dalam jumlah yang sangat besar kepada keluarga korban. Padahal dana tersebut sebenarnya bisa digunakan  untuk biaya-biaya pelayanan sosial.

“Solusi bagi kekerasan dalam pemilu di Papua bukan dengan menghapus pemilu langsung sebagaimana disarankan oleh para pejabat dari pusat,” kata Nolan.  “Apa yang dibutuhkan adalah pengetatan kriteria bagi pembentukan kabupaten-kabupaten baru, dan pengurangan insentif ekonomi yang menjadikan pemekaran wilayah sedemikian menarik.”

Fragmentasi administratif ini mungkin merupakan sebuah cara untuk memberi  peran dalam proses politik bagi kelompok etnis yang selama ini belum terwakili, walaupun hal ini tidak akan membuat hubungan dengan Jakarta menjadi lebih mudah. Namun cara demikian telah menghasilkan lebih dari 1,000 pejabat terpilih dari Papua yang pandangan atas masa depan Papua harus diperhatikan secara serius.