Komunitas  Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Biak   meminta dukungan Masyarakat International terhadap pembebasan   Bapak Septinus Rumere, atas kasus Pengibaran bendera Bintang Kejora pada Desember 1, 2009.


BiakNews, Maret 1, 2010, Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua di Biak pada tanggal 1 Maret 2010  mengadakan  pers release  untuk menyikapi  kasus pengibaran Bendera Bintang Kejorah West Papua pada tanggal 1 Desember 2009 oleh Bapak Septinus Rumere yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Biak  Numfor.

Dalam pers release tersebut Koordinator Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua di Biak menyatakan bahwa ; Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusi Papua di Biak adalah sebuah organisasi berbasis korban kejahatan Hak Asasi Manusia yang di lakukan Indonesia selama wilayah West Papua dibawah kekuasaan Pemerintah Indonesia.

Ibu Tineke Rumkabu selaku coordinator Komunitas Korban Pelanggaan Hak Asasi Manusia Papua di Biak mengatakan dalam pers realeasnya bahwa Negara berkewajiban memajukan, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Itulah menjadi tuntutan warga negara dan tera-ukur negara jika menyatakan diri penganut sistem politik demokrasi. Sejarah mencatat daftar korban yang panjang atas kebijakan dan praktek hukum nasional Indonesia yang membelenggu kebebasan berekspresi. Pada prinsipnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia terikat secara moral terhadap Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan perjanjian-perjanjian international tentang Hak-hak Manusia. Dalam ikatan moral ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia  mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia  orang  Papua.

Tak ada janji tanpa kewajiban, seluruh deklarasi dan perjanjian international tentang hak-hak manusia selalu mengandung prinsip kewajiban negara. Dasarnya jelas karena negara-negara dalam komunitas international inilah yang mengeluarkan janji-janji untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia, karena negara inilah  yang berjanji, dan setiap janji yang telah dinyatakan, pasti mengandung prinsip kewajiban.

Kebebasan adalah ruang bagi setiap orang untuk mengekpresikan aspirasi dan mengartikulasi kepentingan secara damai atau tanpa kekerasan.  Kebebasan menyampaikan pendapat secara damai dan diekpresikan secara publik, jelas bukan suatu kejahatan. Para pejabat negara yang menjadi sasaran kritik, seharusnya tak boleh mengunakan polisi untuk menangkap dan menahan pelaku kebebasan dengan tuduhan mencemarkan nama baik, menghina negara dan penjabat atau menyebarkan kebencian, apalagi tuduhan perbuatan MAKAR.

Rakyat Papua telah menyatakan berulang-ulang bahwa dialog merupakan cara paling tepat dalam menyelesaikan masalah Papua. Rakyat  Papua berulang-ulang  menyatakan bahwa sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI adalah salah satu ganjalan utama dalam hubungan  Papua dengan Pemerintah RI. Orang  Papua percaya bahwa proses penggabungan  Papua ke  Indonesia mengadung pelanggaran  HAM. Ketika orang Papua mempertanyakan masalah pelanggaran HAM Papua pada saat  pelaksanaan PEPERA 1969, dimana waktu itu pemerintah Indonesia tidak menjamin pelaksanaan demokrasi yang jujur adil dan damai  berdasarkan norma-norma international.  

Persoalan Papua adalah persoalan International karena Indonesia mengunakan legitimasi Perjanjian New York 1962 untuk memindahakan Papua ke dalam NKRI, membunuh orang Papua, menangkap, dan memaksakan sebagian orang Papua yang ditunjuk untuk menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun Papua direkayasa sebagai bagian dari NKRI, namun orang Papua sampai saat ini masih terus berjuang untuk menyatakan bahwa Pelaksanaan PEPERA 1969 tidak adil, jujur, damai dan demokrasi berdasarkan norma-norma International.  Tuntutan orang Papua ini pihak Pemerintah Indonesia selalu melihat itu sebagai tindakan MAKAR atau KRIMINAL.

Jika kita baca dan meneliti pasal  MAKAR pada KUHP yang selalu dipakai untuk mengkriminalisasi  tuntutan orang Papua dalam pelurusan sejarah  Papua, maka pasal MAKAR atau KRIMINAL pada KUHP ini tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan tuntutan orang Papua tentang masalah Papua. Orang Papua mempunyai kesadaran untuk menuntut masalah  Papua secara damai, adil dan jujur.

Masalah hak-hak dasar manusia adalah tuntutan orang Papua. Orang Papua menekankan perlunya pemberian jaminan terhadap hak-hak dasar manusia di Papua, namun sampai saat ini kekejaman manusia masih saja terus dilakukan Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada manusia Papua dengan alasalan melakukan MAKAR atau KRIMINAL.

Lanjut Ibu Tineke mengatakan bahwa kami Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua di Biak menyeruhkan  :
Kepada Masyarakat International untuk mendesak pihak Pemerintah Indonesia untuk dapat membebaskan kasus  Bapak Septinus Rumere  yang sekarang ini sedang disidangkan di pengadilan Negeri Biak.
Menyeruhkan kepada masyarakat International untuk dapat mendesak SEKRETARIS JENDERAL   PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA untuk dapat mengambil sikap dalam penyelesaian damai masalah Papua.

Pasal 106 pada KUHP yang berbunyi “ Makar yang dilakukan dengan maksud hendak menaklukkan daerah negara serulunya atau sebagiannya ke bawah pemerintah asing dengan maksud hendak memisahkan sebagian dari daerah itu, dipidanakan dengan pidana penjara seumur hidup  atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun “. Pasal 106 pada KUHP ini tidak dapat dipakai sebagai dasar dalam penyelesaian masalah Papua, karena masalah Papua adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua dan ini merupakan masalah International.

Pada tanggal 1 Desember 2009 Bapak Septinus Rumere ( umur 64 tahun )  telah mengibarkan bendera West Papua yaitu Bintang kejarah di kampungnya di Desa Orwer, Distrik Biak Timur. Pengibaran Bendera Bintang Kejora yang dilakukan oleh Bapak Septinus Rumere untuk memperingati tanggal 1 Desember sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua. (ssss).