Mulia, WPToday – Tentara Nasional Indonesia (TNI) Satuan Tugas Pamrahwan Yonif 753/AVT yang bertugas di Pos TNI di Distrik Yambi, Kabupaten Puncak Jaya Goliath TabuniPapua, Jumat (21/5) malam, diserang gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dibawah Komando Tertinggi Militer Revolusi Nasional Papua Barat (KTMRNPB) pimpinan Jenderal Goliath Tabuni. Mereka yang ditembak adalah Komandan Pos (Danpos) Lettu Inf Agung Setia dan anggotanya bernama Pratu Arfianto Iskandar.

Kedua korban tersebut sudah dievakuasi dari tempat kejadian dan direncanakan akan diterbangkan hari ini, Sabtu (22/5) ke Jayapura untuk memperoleh perawatan medis. Satu diantara korban tersebut sedang dalam keadaan kritis dan dari informasi yang diterima media ini, hampir semua masyarakat Puncak Jaya mendoakan kematiannya.

Jubir KTMRNPB, Iringgame Tabuni ketika dikonfirmasi media ini membenarkan penyerangan tersebut dan menyatakan bertanggungjawab sepenuhnya atas kejadian tersebut. Ia mengatakan, serangan tersebut dilakukan karena TNI yang bertugas disana sudah sangat meresahkan warga masyarakat dengan aksi-aksi kriminal yang dilakukan tiap hari.

“Kami nyatakan bertanggungjawab. Kami serang mereka (TNI-Red) yang bantai rakyat, mereka membunuh dan memutilasi Pendeta Kindeman Gire, kemudian mereka pakai milisi tembak karyawan PT Modern dan menuduh Warius Telenggen sebagai pelaku yang selanjutnya mereka bunuh dan mutilasi padahal dia sudah angkat tangan sebagai tanda menyerah,” jelas Tabuni.

Pria yang lulus sebagai Sarjana Komunikasi dari salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta beberapa tahun lalu ini mengatakan, mereka akan terus melakukan penyerangan karena keberadaan TNI di Puncak Jaya bukan untuk melindungi rakyat tetapi justru membantai rakyat setelah melakukan sejumlah aksi-aksi rekayasa.

“Saya pikir publik sudah tahu modus operandi busuk yang dimainkan oleh TNI. Mereka selalu menembak atau bahkan membunuh Brimob atau Polisi pakai kampak, kemudian menuduh kami, setelah itu mengajak Polisi lagi untuk sama-sama melakukan operasi tumpas massal versi Jawa, yaitu tumpas kelor, dengan menusnahkan semua yang ada di depan mata mereka, manusia, binatang, tanaman pangan dan rumah-rumah,” ungkapnya.

Ditanya soal deadline waktu sampai tanggal 28 Juni 2010 yang diberikan Pemkab Puncak Jaya agar para gerilyawan menyerahkan diri sebelum ditumpas oleh TNI-Polri, Iringgame Tabuni mengatakan, sebenarnya yang harus di-deadline adalah TNI karena merekalah yang selalu meresahkan warga, membumihanguskan kampung-kampung beserta penduduknya dan melakukan serangkaian rekayasa penembakan terhadap iring-iringan mobil Polisi. Ia meminta Pemkab Puncak Jaya untuk obyektif dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan.

“Deadline itu seharusnya diberikan buat TNI karena merekalah yang suka bikin kacau di Puncak Jaya, jadi saya harap pihak Pemkab Puncak Jaya bisa obyektif dalam mengeluarkan pendapat atau himbauan, jangan jadi mulut Kodam atau Juru Bicara Pangdam di Puncak Jaya,” harapnya.

Situasi Puncak Jaya semakin tidak kondusif karena TNI terus melakukan rekayasa-rekayasa penyerangan terhadap Polisi, menyerang karyawan perusahaan dan membuat kejadian-kejadian tersebut sebagai proyek operasi kemudian membantai kampung-kampung yang terisolasi dari pantauan publik.

Penyerangan terhadap Pos TNI ini merupakan serangan balasan atas serentetan kejahatan TNI, terutama dalam dua minggu terakhir, dimana mereka membasmi Kampung Pilia pada hari Senin (11/5), Kampung  Goburuk  pada hari Senin (11/5) dan Kampung Yamo pada hari Senin (17/5). Rakyat tidak berdosa di ketiga kampung tersebut disapu bersih bersama ternak piaraan dan kebun-kebun mereka.

Beberapa saksi mata yang lolos dari aksi sapu bersih tersebut mengatakan, rakyat di kampung tersebut hampir semua dibantai dan hanya sedikit yang lolos dari kepungan TNI-Polri. Namun, Pemkab Puncak Jaya dan TNI-Polri yang telah menutup akses masuk media independen dan pekerja kemanusiaan ke Puncak Jaya selalu mengatakan bahwa tidak ada korban di pihak warga sipil.

Penyisiran dilakukan hampir setiap hari dan, seperti biasanya, TNI-Polri yang tidak mampu mengejar Gerilyawan TPN-PB, membantai masyarakat yang tidak bersalah. Banyak warga kampung yang ditangkap, diperkosa dan ditembak. Otoritas militer Indonesia kemudian membela diri dengan mengatakannya sebagai “korban peluru nyasar”.***